Jumat, 20 April 2018

Gerimis di Atas Kertas: Rangkuman Kisah-Kisah Cinta Manusia

Buku ke-4 yang harus saya baca dan ulas dari Klub Buku Basabasi adalah buku berjudul Gerimis Di Atas Kertas dari A.S. Rosyid. Buku ini bertemakan cinta yang dikemas dalam latar pesisir di sebuah pulau di bagian timur Indonesia, di Lombok tepatnya. Kisah cinta dalam novel ini bisa dikatakan sederhana. Jika harus disebut rumit, satu-satunya kerumitan yang terjadi karena adanya kisah cinta segitiga dan kisah-kisah cinta lain yang tidak berhubungan langsung dengan kisah cinta segitiga itu. Satunya-satunya yang menghubungkannya adalah latar kisah cinta itu berlangsung, yaitu sebuah komunitas baca di salah satu daerah pesisir Lombok. Bagi saya kerumitan ini terjadi disebabkan oleh beberapa hal.

Novel ini mengisahkan tiga kisah cinta dengan tokoh dan cerita yang saling berhubungan. Ada banyak tokoh, tetapi ada dua tokoh utama yang menjadi penghubung sekaligus pengantar cerita, Hasyim dan Royyan. Kisah cinta tak sampai mereka dibeberkan pada cerita pertama. Penulis membuat bentuk penulisan yang berselang-seling, dengan sudut pandang Hasyim sebagai pencerita. Berselang-seling yang dimaksud adalah, si tokoh utama menceritakan dengan alur maju-mundur. Maju pada bagian dia menceritakan kisah anak-anak asuhnya dalam komunitas baca di pesisir, dan mundur ketika dia mengingat-ingat lagi Ayu. Bagi saya bentuk penulisan semacam ini akan sedikit merepotkan jika penulis tidak dibekali dengan kemampuan menyambungkan cerita yang baik. Dan menurut saya ini terjadi, peralihan yang kadang kasar dari Ayu menuju kisah lima anak komunitas baca membuat pengalaman membaca saya tidak terlalu mengenakkan dan membuat gambaran tentang ayu dan lima anak ini menjadi tercampur-campur. Setidaknya dalam kepala saya.

Cerita pertama, selesai dengan pernikahan Ayu dan Hasyim, setelah melalui perjuangan yang menyakitkan dari Royyan dan penantian yang tak putus dari Hasyim. Memasuki cerita kedua, pembaca disuguhkan dengan tokoh baru, yaitu Fajar dan Tata. Kisah cinta Fajar dan Tata ini disambungkan dengan cerita pertama dengan memasukkan tokoh Royyan sebagai sahabat Tata. Sepertinya dengan memasukkan kisah Royyan dan Hasyim dalam kisah Fajar dan Tata, penulis seolah berusaha untuk terus mengikat pembaca tentang kisah yang tak sampai, tentang sakit hati. Lalu kemudian membalik emosi pembaca dengan akhir yang bahagia. Sayangnya bagi saya sedikit memaksakan karena kisah Tata dan Fajar memiliki jalan yang hampir serupa dengan kisah Royyan dan Hasyim. Fajar dan Hasyim sama-sama memiliki luka dan kenangan tentang masa lalu, sedangkan Tata dan Royyan, terlepas mereka adalah teman, memiliki sebuah cara pandang yang hampir dalam memandang orang yang dicintai. Mereka seolah sama-sama yakin bahwa Fajar atau Hasyim adalah lelaki idaman, lelaki yang pantas untuk dimiliki. Perbedaannya hanya terletak pada sudut pandang yang dihadirkan oleh penulis. Cerita pertama sudut pandang tokoh laki-laki, sudut pandang kedua sudut pandang si wanita. Pertanyaan yang cukup menganggu saya sebenarnya untuk apa menyambungkan kisah yang memiliki logika kejadian yang sama?

Buku ini ditutup dengan kisah ketiga yang berjudul Cakwe di Kota Tua. Bagian ketiga ini berbeda dengan bagian pertama dan kedua. Tidak ada lagi Hasyim, Royyan, ataupun Tata. Muncul tokoh baru dan cerita baru. Dalam bagian ketiga ini ada perbedaan tentang kisah cinta yang diceritakan. Bayu, sebagai tokoh utama, mengejar cintanya dengan cara yang tidak biasa. Alih-alih mendekati dan menyatakan cintanya secara langsung kepada Sastri, Bayu membangun cinta melalui warung Cakwe yang akhirnya tidak hanya mengikat Sastri, tetapi juga tokoh lainnya. Berbeda dengan kisah cinta pertama dan kedua yang dibayangi oleh masa lalu, pada cerita terakhir kisah cinta berjalan lurus. Sisipan kisah sejarah hanya menjadi polesan yang sebenarnya tak terlalu meperkuat cerita. Bagi saya, cerita ini seolah ditempatkan penulis sebagai sebuah gambaran tentang berbagai macam jenis cinta yang mungkin dialami manusia: cinta yang kandas seperti kisah Royyan dan Hasyim, cinta yang setia seperti Hasyim pada Ayu, cinta yang penuh ketakutan seperti kisah Fajar dan Tata, dan terakhir kisah cinta yang lancar dari awal sampai selesai seperti kisah Sastri dan Bayu.



Gerimis di Atas Kertas
A.S. Rosyid
Penerbit Basabasi, 2017




Selasa, 20 Maret 2018

Anak Kecil dan Semut Peliharaan: Sebuah Review

Jose Saramago memulai narasinya dengan nada satir dan cenderung mengejek Tuhan tentang kelalaiannya dalam penciptaan Adam dan Hawa.

"Ketika tuhan, yang juga dikenal dengan nama allah, menyadari bahwa adam dan hawa, walaupun tiap segi dari sosok luarnya sempurna, tidak dapat mengucapkan sepatah pun kata atau mengeluarkan suara paling primitif sekalipin ia jengkel kepada dirinya sendiri, karena tidak ada makhluk lain di taman eden yang dapat disalahkannya atas kelalaian yang sangat terang ini,.."

Dalam narasi awal ini, kita dapat menangkap ia meletakkan Tuhan sebagai sebuah sosok yang cela, pembenci, tapi juga berkuasa. Narasi awal ini setidaknya memberi gambaran bagaiman selanjutnya Saramago  membangun ceritanya. Hubungan Tuhan dan manusia, bagi Saramago seolah hubungan antara anak kecil yang memelihara kandang semut. Tuhan berkuasa dan dapat menentukan hidup semut-semut peliharaannya, dan semut-semut tinggal menjalani hidupnya dalam dunia rekaan si anak kecil ini. Kain, adalah semut nakal, dia menggigit tuhan dengan perdebatannya dengan tuhan setelah pembunuhan habel. Kain layak dihukum, dan perjalanan "membongkar" tuhan dimulai. Dimulai dengan pertemuannya dengan Ibrahim dan kejadian menyelamatkan Ismail, hingga perdebatannya dengan Nuh tentang bahteranya.

Kain, sering dikatakan sebagai sebuah novel yang menghancurkan kesucian tuhan, membunuh tuhan. Mendekonstruksi segala kejadian dalam akitab dan meporak-porandakan semuanya. Namun, dalam pembacaan saya, tidak ada usaha untuk membunuh tuhan, tidak ada usaha untuk mengalahkan tuhan. Kain hidup dalam hukuman dan dia menjalani hukumannya. Satu-satunya yang berusaha dia bunuh adalah rasa bersalahnya setelah membunuh Habel, saudaranya. Meskipun dia tidak pernah berhasil melakukannya.

Kain  membuka ruang yang selama ini tak pernah dibicarakan dalam membicarakan tuhan. Dia menunjukkan bahwa  tuhan yang baik adalah tuhan yang jahat, dia adalah adalah keduanya. Dia maha pengasih, dia maha kuasa, dia juga maha pencemburu. Kain juga menunjukkan bahwa manusia berkuasa atas dirinya, meskipun tetap dalam kuasa tuhan. Ini dapat dilihat dari posisi Kain memiliki kehendak bebas melakukan apapun, pergi kearah manapun, tetapi tetap dalam hukuman/perlindungan dari tuhan.

Pada akhirnya, tuhan adalah hal yang tak pernah selesai. Tuhan mengambil banyak bentuk, baik dzat yang ada diluar diri manusia, ataupun manusia sebagai tuhan bagi dirinya sendiri, dan kesemuanya hidup dalam Kain.







KAIN: PERJALANAN SANG PEMBUNUH PERTAMA
Jose Saramago
Basabasi, Desember 2017

Selasa, 20 Februari 2018

Alkudus dan Poskolonialisme: Sejenis Review Asal-Asalan

Membaca Alkudus karya Asef Saeful Anwar tentu saja serupa membaca sebuah kitab suci karena memang begitulah karyanya dibentuk. Alkudus sekilas mengingatkan saya pada Kain dari Jose Saramago. Perbedaannya, Jose Saramago menuliskan ulang kisah dalam Kitab Perjanjian Lama menjadi sebuah kisah humor yang penuh ironi, sedangkan Asef Saeful Anwar mengambil langkah lebih jauh dengan mencipta tuhan, nabi, kisah, perjalanan, bahkan tafsir dari sebuah agama yang dia sebut dengan agama Kaib dan Alkudus sebagai kitab sucinya. Oleh karena itu, tinjauan terhadap Alkudus mungkin dapat dilakukan dalam dua bentuk. Bentuk pertama, menempatkannya sebagai sebuah karya sastra dan melakukan kritik terhadap nilai kesusastraannya. Sedangkan bentuk kedua, menempatkannya sebagai sebuah kitab suci, dan melakukan tafsir-tafsir “liar” serta membuat kitab agama Kaib ini menjadi tidak relevan, sayangnya, saya tidak menguasai keduanya, tapi mari kita coba.

Satu konsep yang muncul ketika membaca Alkudus adalah konsep mimikri dalam teori sastra poskolonial. Secara umum konsep ini, serupa dengan istilah mimikri dalam ilmu alam, adalah peniruan, penyesuaian diri. Namun dalam kerangka poskolonialisme, istilah mimikri disematkan kepada tindakan dari kelompok terjajah yang berusaha meniru, menyerupai, bangsa penjajahnya. Tindakan peniruan oleh kelompok terjajah ini, bagi Homi K. Bhaba, memiliki nuansa perlawanan yang tersembunyi, tetapi secara tak sadar mengisyaratkan kekuasaan yang begitu masif dari penjajah (Bhaba, 1994). Masih dalam kerangka penjelasan Homi K. Bhaba, mimikri muncul sebagai sebuah strategi dalam konteks pertarungan kekuasaan kolonial yang paling sulit untuk dipahami sekaligus efektif. Sulit dipahami dalam hal ini karena mimikri mengisyaratkan pengakuan dan permintaan akan sebuah identitas, sekaligus pengakuan dan kompromis terhadap sebuah dominasi. Dalam kerangka karya sastra di Indonesia, mimikri dapat ditemukan dalam novel Max Havellar karya Multatuli atau Burung-Burung Manyar karya Mangunwijaya, dimana tokoh utamanya mengalami perdebatan identitas dan upaya untuk “mengikuti” etika dan sikap dari penjajahnya. Sedangkan dalam konteks karya sastra dunia, mimikri dapat kita temukan dalam The Mimic Man dari V.S. Naipaul (lihat Ashcroft, 1989, hal. 87) atau Things Fall Apart dari Chinua Achebe (lihat Olsson, 2010).

Namun, dalam membahas Alkudus dengan kerangka ini adalah letak peniruan dan nuansa yang berusaha disampaikan oleh si penulis. Pertama soal peniruan. Sudah jelas bahwa yang ditiru adalah kitab suci yang merupakan sebuah karya sastra terbitan Tuhan. Ini didukung juga sepanjang pembacaan terhadap novel (atau kitab) ini, si penulis banyak mengambil ayat-ayat dalam kitab agama lain dan bahkan The Allegory of the Cave dari Plato juga menjadi bagian dalam kitab ini. Di beberapa bagian ada aroma Islam yang kental, tetapi juga dalam beberapa bagian muncul nuansa ajaran katolik yang juga kuat. Dengan pembacaan semacam ini, tentu saja terlalu mereduksi jika kita menyebut Alkudus adalah sebuah bentuk peniruan dari Al-Quran atau Babel atau ajaran Budha saja, sehingga mungkin lebih cocok jika peniruan yang dilakukan oleh si Penulis adalah sebuah peniruan terhadap konsep Ketuhanan manusia yang lepas dari kerangka agama apapun. Kedua, mengenai nuansa. Dalam kerangka kajian poskolonial, seperti telah dijelaskan sebelumnya, bahwa mimikri adalah sebuah bentuk pengakuan sekaligus perlawanan terhadap dominasi. Tentu tak salah jika diasumsikan bahwa bentuk penulisan serupa kitab suci adalah sebuah pengkuan sekaligus perlawanan dari si penulis terhadap dominasi Tuhan dalam setiap lini kehidupannya.

Dari sini penafsiran liar dimulai. Dengan dua penjelasan diatas, maka dapat kita disimpulkan bersama bahwa novel ini mengisyaratkan sebuah pengakuan atas kekuasaan tuhan, sekaligus dominasinya dalam lini kehidupan manusia. Ini diisyaratkan dalam ayat 67 (hal.36) dari buku ini yang secara jelas menyebutkan bahwa “Segalanya telah aku tetapkan dan tak ada yang (bisa) lepas dari Ketetapan-Ku”. Namun, ketika si penulis menulis sebuah kitab yang berisi firman Tuhan beserta kisah-kisah kenabian dan perjalanan sebuah agama, bukankah dia sedang menjelma Tuhan yang memiliki ketetapan akan segala hal? Bukankah dengan begitu si penulis sedang menyerupai Tuhan? Tetapi bukankah secara bersamaan mengakui bahwa karyanya adalah sebuah bentuk pengakuan atas Tuhan di dunia si penulis, bukan di dunia karyanya? Maka dari sinilah kerumitan dan kompleksitas Alkudus dimulai.

Selamat Membaca.


Referensi:

Ashcroft, Bill, The Empire writes back: theory and practice in postcolonial literature, 1989, London: Routledge, 2002.

Bhaba, Homi K. The Location of Culture, 1994, New York: Routledge, 2006.





Alkudus
Asef Saeful Anwar
Penerbit Basabasi 2017

Selasa, 09 Januari 2018

Apa Yang Patut Kita Rayakan? Sebuah Ulasan

Karya eksperimen berarti kebebasan. Kebebasan dalam mengeskplorasi, kebebasan dalam membengkokkan nalar, kebebasan dalam menghancurkan batas-batas genre, sekaligus kebebasan dalam memainkan segala hal, entah kata, tema, bentuk, atau bahkan pembaca. Namun, karya sastra se-eksperimental apapun tetaplah karya sastra, dia diwajibkan untuk indah dan dapat dipahami, dia juga diwajibkan untuk membuka cakrawala baru, membuka pertanyaan-pertanyaan yang tak sempat diungkap sekaligus membuai pembaca agar terus membaca. Maka kelahiran buku semacam ini tentu patut kita rayakan. Tetapi adakah hal lain yang harus kita rayakan? Apakah kebaruan tema yang dia tawarkan? Atau keberanian penulisnya yang mencoba mendobrak pakem penulisan? Atau mungkin kekuatan narasi-narasi yang merupakan pondasi penting dari sebuah karya sastra?

***

Kumpulan cerpen Kamu Sedang Membaca Tulisan Ini adalah kumpulan 25 cerita dalam 219 halaman dari Eko Triono. Kumpulan cerita dari penerbit Basabasi ini disebut Anton Kurnia sebagai sebuah  "novel eksperimental" dalam "teknik metafiksi dan eksperimen bentuk yang imajinatif" sehingga menghasilkan sebuah karya yang "baru kali ini dicoba dalam sejarah sastra Indonesia." Apa yang disebut oleh Anton Kurnia ini tidak salah, tetapi juga tidak sepenuhnya benar.

Dalam Kamu Sedang Membaca Tulisan Ini, penulis memang seolah ingin bermain dengan "cerita." Penulis meletakkan "cerita" sebagai tokoh utama, tokoh pendukung, dan terkadang bagian penting dari cerita yang dia tuliskan. Tema semacam ini memang jarang ditemukan dalam perkembangan karya sastra di Indonesia belakangan ini. Selain itu, dari sisi bentuk, penulis memang mengeksplorasi bentuk-bentuk yang tidak biasa.

Setidaknya terdapat sembilan cerita dengan bentuk tidak biasa, diantaranya:  Cerita Dalam Satu Kata (hal. 15), dimana penulis hanya menulis kata 'cerita', Cerita Dalam Banyak Kata (hal. 16-31), dimana penulis menyusun ceritanya seolah kamus, Cerita Dewasa (hal. 47), dengan bentuk pilihan serupa halaman website dewasa, Cerita Berbingkai-Bingkai tentang Berita Derita Kita (hal. 81) dimana kata-kata dirangkai dalam kotak-kotak yang menyambung-nyambung membentuk sebuah makna yang berusaha disampaikan oleh penulis, cerita dalam bentuk pilihan ganda dalam Cerita dalam Ulangan Harian Kita (hal. 128-132), cerita serupa resep masakan dalam Cerita dalam Resep Membuat Hantu (hal. 133-143), Atirec Malad Mukuh Kilabret (hal. 149-151) dengan membalik seluruh kata dalam cerita, Cerita Yang Mengancam Mendatar dan Mengancam Menurun (hal. 152-158) dan terakhir, Tetapi (hal. 219) yang dibentuk serupa bagian penutup surat sekaligus meneguhkan akhir dari buku ini.

Permasalahannya, permainan bentuk cerita yang dibawa oleh penulis, terlalu fokus pada bentuk yang berbeda saja. Secara personal, bentuk yang berbeda ini tidak membawa pembaca menuju sebuah perenungan panjang tentang sebuah dunia melalui sudut pandang yang berbeda. Bentuk penulisan berbeda yang ditawarkan penulis ini seolah berusaha keras menyembunyikan makna--yang sebenarnya sangat gamblang dan terbuka diungkapkan oleh penulis. Ini bisa dilihat dari Cerita dalam Ulangan Harian, dan Cerita dalam Resep Membuat Hantu. Dalam dua cerita ini sedari awal penulis sudah memberikan batasan interpretasi makna yang ada dalam ceritanya.

Sedangkan dalam Cerita Dalam Banyak Kata, eksplorasi cerita dalam bentuk kamus membuat cerita timbul dan tenggelam. Di bagian tengah, alur cerita yang diselipkan dalam setiap kata menghilang, mungkin karena kata-kata yang disediakan oleh kamus tidak bisa masuk ke dalam alur cerita. Sisipan kritik tentang sesuatu dalam kata-kata ini juga terkesan menggangu jalannya cerita yang sedari awal disampaikan oleh penulis.

Berbeda lagi dengan Cerita Dalam Satu Kata, Cerita Dewasa, Cerita Berbingkai-Bingkai tentang Berita Derita Kita, dan Atirec Malad Mukuh Kilabret. Tiga cerita ini mengeksplorasi bentuk yang cukup  ekstrim: dengan satu kata, dengan tampilan halaman website dewasa, dengan bingkai penghubung setiap kata, dan dengan membalik keseluruhan kata dari cerita. Dari empat cerita ini, hanya dua yang cukup menarik. Pertama adalah Cerita Berbingkai-Bingkai tentang Berita Derita Kita. Melalui bingkai dan kata-kata sederhana, penulis membawa pembaca pada sebuah kesimpulan yang sangat menggambarkan masyarakat kita. Kedua adalah Atirec Malad Mukuh Kilabret, melalui kata-kata yang dibalik ada kesan dimana penulis berusaha menyampaikan pesan bahwa dunia sudah terbalik, dimana hukum terbalik, logika terbalik dan semuanya terbalik. Kesan yang seharusnya mudah ditangkap tanpa membaca keseluruhan isi cerita. Meskipun memang, pembalikan semacam ini berpotensi membingungkan pembaca dan membuat cerita ini dilewati begitu saja.

Untuk Cerita Dalam Satu Kata dan Cerita Dewasa, dalam pandangan subjektif, penulis hanya mengeksplorasi bentuk saja. Tidak ada keistimewaan lain selain bentuk yang aneh dan tampak berbeda. Dengan kata lain, dua cerita ini gagal. Terkadang kegagalan ini berkaitan dengan sifat dan ruang lingkup eksperimen. Mungkin saja penulis tidak cukup memikirkan bagaimana benang bentuk/struktur melekat pada konten, atau mungkin penulis terlalu berhasrat menyembunyikan sesuatu dalam ceritanya, tetapi sayangnya tidak ditemukan apa-apa dalam cerita itu. Itupun jika itu bisa disebut cerita. Dengan kata lain, eksperimen cerita yang sukses harus dilakukan untuk lebih dari sekadar terlihat aneh dalam setiap halaman (dan saya merasa bahwa penulis, baru berpikir bahwa menulis eksperimental harus terlihat aneh pada halaman). Ada konten yang perlu dan harus dipertimbangkan; tradisi sastra, konteks, dan resonansi metaforis dan estetika dari konstruksi cerita.

Kekuatan penulis justru muncul ketika dia bermain-main dalam tema cerita dan narasi yang dia sampaikan. Penulis mampu menghadirkan sebuah tema cerita yang menarik dengan narasi yang cukup apik. Dalam Kamu Sedang Membaca Tulisan Ini (hal.161-218), yang juga merupakan judul dari buku ini, penulis menghadirkan sebuah cerita tentang seorang penulis yang mengilhami sebuah wilayah, dimana dia diadili sekaligus dipuja atas karya-karyanya. Dalam cerita ini, penulis (Eko Triono) mampu bermain-main dengan imajinasi pembaca melalui tuntutannya untuk membayangkan sesuatu. Kalimat, "kamu sedang membaca tulisan ini. Dan, kamu akan mengikuti apa saja yang diminta tulisan ini dari pikiranmu" menjadi penghubung cerita yang cukup menarik sekaligus mampu melibatkan pembaca dalam petualangan aneh si tokoh, dengan akhir yang musykil. Kekuatan penulis dalam memainkan tema, kata-kata, dan juga ide cerita juga sangat terlihat dalam Cerita Remaja (hal. 48), Cerita Dalam Riwayat Cerita (hal. 84-89), Reuni Dengan Enam Aku (hal. 119-127) dan Cerita Anak (hal. 159-160).

Lain lagi dengan Cerita Sesuai Dengan Cerita Pasar (hal. 53-80), dalam cerita ini penulis mengeksplorasi secara liar 'cerita', dimana dia menjadikan 'cerita' tidak hanya kata, tetapi juga sebuah objek pencarian dari si tokoh. 'Cerita' diumpamakan sebagai sebuah benda yang diperdagangkan, tetapi tetap menyimpan nilai sebagai sebuah cerita itu sendiri. Eksplorasi semacam ini ditemukan juga di beberapa cerita lain dalam buku ini, seperti Menanam Cerita (hal. 143-148), dan Cerita Pesan Moral (hal. 49-52) dan Cerita Pendek dan Cerita Panjang (hal. 32-37), yang menjadikan 'cerita' sebagai tokoh utama yang dapat bercerita. Eksplorasi 'liar' ini cukup berhasil, meskipun dalam beberapa bagian susah dipahami, tetapi itu ditutupi dengan kemampuan penulis untuk memanfaatkan kekuatan narasi yang dia gunakan dalam setiap cerita itu.

***

Hadirnya Kamu Sedang Membaca Tulisan Ini yang disebut sebagai karya eksperimental yang "baru kali ini dicoba dalam sejarah sastra Indonesia" tentu saja patut dirayakan. Kelahiran sebuah buku seburuk apapun dia patut dirayakan. Namun, apakah ada hal lain yang patut kita rayakan selain kelahirannya dan keberanian penulisnya? Saya tidak tahu, mungkin belum ada, mungkin juga ada, atau mungkin tidak keduanya.




Judul : Kamu Sedang Membaca Tulisan Ini
Penulis : Eko Triono
Penerbit : Basabasi
Tahun : Desember 2017
Tebal : 220 halaman
ISBN : 978-602-6651-67-9

Selasa, 29 Maret 2016

Hilang

Aku telah kehilangan bakatku untuk menulis,
semalam seseorang datang dan mencurinya.

Minggu, 10 Januari 2016

Cerita yang Dipaksa Selesai

Pohon ketapang berusia kakekku itu sudah ditebang. Demit, jin, kuntilanak, yang bersarang di cabang-cabang pohon itu terpaksa pindah. Termasuk kami, yang berumah di sekitar pohon ketapang itu juga harus pindah. Kira-kira tepat setahun sejak kami pindah, pohon ketapang itu sudah berganti menjadi bangunan megah, putih, dengan jendela-jendela yang lebih banyak dari cabang pohon ketapang yang digantikannya. Konon katanya, para penghuni bangunan besar itu lebih galak dari jin yang dulu berumah di pohon ketapang. Bahkan ada yang bilang mereka itu jahat. Bisa menghabiskan air sumur, merusak lingkungan, dan membuat banjir. Aku sendiri tak mengenal mereka, tapi jika semua itu benar, aku berdoa semoga jin jahat yang berumah di pohon ketapang itu menghantui mereka seumur hidup.

Selesai.



Senin, 30 November 2015

Suatu Hari


Satu persatu daun gugur, hari gugur, cinta gugur.
Perlahan lahan matahari turun, langit senja turun, air mata turun.

Ada yang pergi
Ada yang kembali,

tapi tak pernah mengerti.

Dikala senja, seseorang pergi, tak mati, tapi tak kembali,

hingga suatu hari,