Minggu, 22 Desember 2013

Pemaknaan Silang Kemenangan dan Kekalahan: Sebuah Pemikiran

Dalam setiap pertempuran selalu ada yang menang dan selalu ada yang kalah, dan masing-masing didalamnya tersimpan makna. Makna yang hanya bisa diterima dan dimaknai oleh yang mengalami. Si Kalah akan menerima makna dan memaknai kekalahannya, dan Si Menang akan menerima makna dan memaknai kemenangannya. Namun, dalam beberapa kejadian, atau banyak sekali kejadian, seringkali Si Menang tidak hanya memaknai kemenangannya, tetapi juga akan memaknai kekalahan Si Kalah dan demikian pula sebaliknya--saya namakan ini pemaknaan silang. Fenomena pemaknaan silang ini, menurut saya, adalah sebuah kekeliruan yang besar, karena memaknai sesuatu yang tidak kita alami akan menggiring kita pada sesat makna, seperti kita menilai sebuah pensil dari pengalaman kita melihat sebuah ballpoint atau buku gambar. Dalam konteks kejadian, kita memaknai makan setelah kita buang air (contoh-contoh ini sebenarnya juga menyesatkan).

Kembali ke Si Menang (SM) dan Si Kalah (SK). Ketika SM memaknai peristiwa yang dialami SK, akan memicu pemaknaan dimana SK akan menilai kekalahan SM dari kemenangannya. Dengan kata lain, akan muncul penafsiran seperti, "dia kalah karena dia lalai untuk...", "dia kalah karena dulu dia...", dan yang paling populer sekarang adalah "dia gagal karena dia mewakili golongan tertentu". Dengan kata lain pemaknaan yang dilakukan adalah perbandingan atas keberhasilannya, atau apa yang kita lakukan dan dia yang tidak lakukan. Coba cermati, penafsiran pertama sebenarnya pembanding atas dengan, "kita menang karena kita berhasil untuk...", kedua sebenarnya "kita menang karena kita dulu...", dan terakhir "kita menang karena kita tidak mewakili golongan terntentu". Pemaknaan sesat ini berlaku pula sebaliknya.

Agar tulisan ini lebih bisa dimengerti, mari kita arahkan denganbeberapa  pertanyaan berikut,
pertama, mengapa pemaknaan silang bisa memicu sesat makna?

Pemaknaan silang bisa memicu sesat makna karena pertimbangan yang dilakukan untuk memaknai sebuah kejadian hanya dilakukan dari satu sisi, mengapa? karena sisi yang lain belum pernah dialami. Sangat tidak mungkin kita mempertimbangkan membeli jeruk jika kita tidak pernah melihat dan mengetahui jeruk. Dalam kasus menang dan kalah, SM tidak pernah mengalami kondisi yang dialami SK. Mungkin memang, kasus menang kalah memang sering terjadi, tetapi keadaan dimana kita menang dan kalah tidak pernah sama.  Jadi sangat mustahil untuk secara penuh mengetahui mengapa dia menang dan mengapa dia kalah di suatu waktu.

Kedua, bagaimana pemaknaan seharusnya dilakukan?

Pemaknaan seharusny dilakukan berdasarkan kejadian yang sudah dialami oleh diri sendiri. Dengan kata lain, sebelum melakukan pemaknaan terhadap orang lain yang harus dipertimbangkan lebih dahulu apakah kita pernah mengalami kejadian tersebut dalam keadaan yang sama persis dengan keadaan yang dialami oleh orang itu. Jika kembali dengan kejadian menang dan kalah, apakah SM sebelumnya pernah mengalami kekalahan dengan posisi seperti SK saat dia kalah saat ini. Jika belum, jauhi pemaknaan atasnya.

Ketiga, apakah ini berarti pemaknaan atas orang lain dan kejadian yang dia alami tidak boleh dilakukan?

Tidak, pemaknaan atas orang lain dan kejadian atasnya boleh dilakukan, tapi tetap pertimbangkan apakah pemaknaan yang akan (atau sudah) dilakukan telah mempertimbangkan sisi lain, atau telah memenuhi jawaban dari pertanyaan kedua. Jika tidak, alangkah lebih baik tidak dilakukan.

Dari semua penjabaran diatas, kita dapat menyimpulkan bahwa pemaknaan silang itu jelek. Dan berbagai istilah yang saya perkenalkan diatas hanya untuk kejadian SM dan SK. untuk kejadian lain belum saya coba dan pikirkan. Jika anda ingin melakukannya, silahkan.

Untuk Karya yang Tidak Lagi (bisa) Dibaca

Manusia lahir, menjadi batita kemudian merangkak, menjadi balita kemudian berjalan, menjadi remaja kemudian berlari. Dalam setiap tahap pertumbuhan ada perkembangan, dan dalam setiap perkembangan mengisyaratkan adanya perubahan. Tapi perubahan yang terjadi tidak mengaharuskan dan bahkan tidak mungkin adanya penghapusan atau penghilangan perkembangan yang sudah dijalani. Mudahnya, balita yang sudah bisa berjalan tidak mungkin kehilangan kemampuannya untuk merangkak dan tidak mungkin menghilangkan (sengaja) kemampuannya untuk merangkak, remaja yang sudah bisa berlari, pun demikian. Dia tidak mungkin kehilangan dan menghilangkan kemampuannya untuk berjalan dan merangkak. Meskipun dalam benaknya pasti memperhitungkan kemampuannya untuk berlari jika berlari dan berjalan sama-sama diperlukan untuk mengejar sesuatu. Dari sini dapat disimpulkan,tiga hal penting: (1) tumbuh mengisyratkan pertambahan pada sesuatu yang bisa dihitung dan diperkirakan, sedangkan berkembang adalah pertambahan sesuatu yang tidak dapat dihitung secara matematis, abstrak, tetapi bisa dilihat dan dirasakan, (2) manusia akan tumbuh dan secara bersamaan dia akan berkembang dan mustahil dia berkembang tanpa tumbuh, seperti bayi yang baru tumbuh hingga usia 2 tahun kemudian memaksa berlari, (3) dan, mustahil untuk orang yang berusaha menghilangkan dan kehilangan hasil dari dia tumbuh dan berkembang, kecuali orang itu kecelakaan lalu lumpuh atau lupa ingatan.

Dari metafora manusia itu, mari kita ubah pembahasan yang menarik ini pada kapasitas keilmuan manusia. Untuk membuktikan dua hal penting dari tiga hal penting tersebut dalam kapasitas keilmuan manusia mari kita contohkan dengan sesuatu yang berhubungan dengan kapsitas diri manusia. Buku misalnya, semakin banyak buku yang dibaca maka dapat dikatakan dia sedang dalam proses pertumbuhan. Dalam proses tumbuh ini manusia akan berkembang, semakin banyak buku yang dibaca maka semakin banyak ilmu, semakin banyak ilmu semakin tinggi kadar keilmuan seseorang, dan mustahil bagi orang yang sedikit membaca atau tidak bisa membaca dikatakan berilmu tinggi. Selain buku adalah pengalaman, manusia berkembang dengan pengalaman (disini saya menghindari premis "pengalaman bertambah dengan membaca buku" atau "pengalaman membaca buku"). Pengalaman adalah situasi yang pernah dihadapi oleh seorang individu, biasanya pengalaman berbanding lurus dengan usia. Alasannya, orang berusia 22 tahun lebih lama hidup dibanding orang dengan usia 19 tahun, dan orang yang berusia 19 tahun peluangnya, untuk mencapai usia 22 tahun, sama besarnya dengan peluang orang berusia 22 tahun untuk mati. Gampangnya, tidak ada yang bisa memberi kepastian apakah orang berusia 19 tahun bisa hidup sampai berusia 22 tahun. Dengan berdasar pada asumsi tersebut, dapat ditarik kesimpulan orang dengan usia 19 tahun tidak lebih berpengalaman daripada orang berusia 22 tahun karena orang berusia 22 tahun telah menjalani masa tumbuh 3 tahun lebih lama daripada orang berusia 19 tahun, dan dengan demikian ia memiliki perkembangan 3 tahun lebih banyak.

Hal yang penting ketiga, yang sebenarnya berusaha saya jadikan bahan  pembahasan utama, adalah kemustahilan seseorang untuk menghilangkan hasil dari tumbuh dan berkembang. Hasil dari orang yang sudah tumbuh dan berkembang adalah karya. Karya wujudnya bermacam-macam, tulisan, lukisan, pahatan, tindakan, pemikiran (biasanya dituangkan dalam tulisan), dan dalam pembicaraan yang lebih serius, karya-karya tadi biasanya menjadi bukti dari sebuah peradaban. Titik dimana manusia menghasilkan karya adalah titik pembuktian bahwa manusia atau individu telah selesai di salah satu tahap tumbuh dan berkembangnya. Kemustahilan terjadi ketika individu tersebut berusaha menghilangkan karyanya dengan menghapus tulisannya, membakar lukisannya, atau menyesali perbuatannya, biasanya dengan alasan tidak puas. Kenyataannya adalah manusia akan terus tumbuh dan berkembang, itu berarti manusia akan terus menambah kapasitas keilmuannya, dan adalah wajar ketika ada ketidakpuasaan atas karya yang tidak lain adalah hasil dari proses tumbuh dan berkembang. Namun, penilaian dari sebuah karya harusnya dilakukan tidak hanya atau lebih tepatnya tidak mungkin oleh diri sendiri, tetapi oleh orang lain. Mengapa tidak mungkin? karena manusia akan terus tumbuh dan berkembang dan akan terus tidak puas, dan ketidakpuasan ini seringkali bukan menjadi bahan untuk terus tumbuh dan berkembang tetapi menjadi bahan untuk meratapi dan merendahkan diri sendiri.

Dalam lingkup tulisan, di era modern ini, dimana orang telah meninggalkan batu tulis dan daun lontar sebagai media penulisan dan beralih pada blog dan berbagai media elektronik lainnya, hasil karya tidak lagi dibakar, tetapi dihapus atau mungkin disembunyikan. Saya pribadi adalah orang yang sering menyesalkan hal itu. Karena dengan menghapus atau menyembunyikan tulisan, maka penilaian hanya akan didasarkan pada diri sendiri, dan menurut saya ini tidak sehat dan memicu seperti yang saya jelaskan sebelumnya. Selain itu, menghapus sebuah tulisan atau menyembunyikannya membuat kita menghalangi orang lain untuk tumbuh dan berkembang karena seolah kita membatasi orang tersebut untuk belajar dari pengalaman dan buku yang sudah kita baca. Jadi bukankah lebih baik membiarkan sebuah karya itu tetap ada dan biarkan orang lain menjadi penilai sekaligus murid bagi tahap yang sudah kita lalui ?








Minggu, 15 Desember 2013

Panduan Memilih untuk Pemula



Politik kampus Universitas Gadjah Mada sedang bergeliat. Pemilihan Raya Mahasiswa (Pemira) sedang berjalan. Banyak poster, baliho, spanduk bertebaran dimana-mana; di pertigaan, di perempatan, di bundaran, di setiap sudut kampus ada poster yang memajang wajah-wajah calon senat dan presiden mahasiswa UGM. Wajah-wajah tersenyum dengan jargon masing-masing, ada yang bilang ingin mengembalikan kedaulatan kampus kerakyatan, ada yang bilang sebagai ajang berkreasi, ada juga yang bilang mereka anti golongan tertentu. Intinya calon-calon itu ingin dipilih dan ditempatkan sebagai perwakilan mahasiswa atau lebih dikenal dengan nama senat mahasiswa.
UGM memang salah satu universitas yang mengadaptasi bentuk pemilihan umum seperti sebuah negara; ada partai, calon senat (DPR), dan presiden. Sistem ini dalam beberapa hal mampu mengurangi masuknya kepentingan-kepentingan dan dominasi kelompok pergerakan tertentu (HMI, PMII, GMNI, dll) kedalam lembaga tertinggi mahasiswa, BEM KM UGM, sehingga stabilitas himpunan mahasiswa dapat terjaga hingga akhir periode. Namun, disisi lain, sistem seperti ini tidak mampu memberikan jaminan kualitas yang cukup baik pada calon-calon senat yang nantinya terpilih. Sehingga muncul pertanyaan terkait indikator apa yang dapat digunakan untuk menilai sebuah partai kampus dapat dipilih dan kualitas calonnya dapat dipercaya. Menurut saya, setidaknya ada tiga indikator untuk melihat hal tersebut:
1.   Sistem rekruitmen. Mari kita ibaratkan semua partai kampus itu berdiri untuk tujuan yang luhur, yaitu menegakkan tri dharma perguruan tinggi. Maka bukankah penting bagi kita melihat siapa saja yang akan menggerakkan roda-roda partai ini agar berjalan sesuai dengan tujuan luhur itu? Bagaimana dia bisa menjadi perwakilan kita di sebuah partai? Kemudian bayangkan, secara tiba-tiba dan sekejab mata muncul orang yang mungkin dipilih secara acak dengan senyum asing dan tidak dikenal datang sambil berkata, “saya akan mewakili anda sebagai kepanjangan lidah anda nanti.” Apa kita akan percaya?
2.      Eksistensi partai. Mari sekali lagi ibaratkan semua partai kampus itu berdiri untuk tujuan yang luhur, yaitu menegakkan tri dharma perguruan tinggi. Kita ibaratkan juga, calon-calon hasil undian tadi harus kita pilih. Bukankah peran partai dalam politik kampus dan dinamika kehidupan kemahasiswaan pada tahun-tahun yang lalu menjadi sangat penting.  Lalu bayangkan, partai-partai dengan nama, jargon yang aneh dan tidak meyakinkan datang hanya setiap tahun sekali lalu bilang, “pilih kami, karena kami ingin mengembalikan kampus kerakyatan, kami paling disayang mama, kami paling dominan, kami paling sangar, kami paling bla, bla, bla,” apa kita akan percaya tahi kucing macam itu?
3.      Struktur organisasi partai. Mari sekali lagi dan lagi kita ibaratkan semua partai kampus itu berdiri untuk tujuan yang luhur, yaitu menegakkan tri dharma perguruan tinggi—maaf jika anda mulai muak dengan ini. Bukankah menjadi penting untuk melihat siapa yang bertanggung jawab nanti, siapa yang dapat memberikan pertanggungjawaban nanti ketika amanat diselewengkan, atau paling tidak siapa yang bisa disalahkan dan dijelek-jelekkan nanti ketika partai itu salah langkah. Kemudian bayangkan ketika kita sangat butuh penjelasan dari partai, yang ada orang-orang dengan senyum menjijikkan dan tidak dikenal tadi, datang sambil berkata lagi, “saya hanya ikut-ikutan.”
Pada titik ini mari kita simpulkan bahwa partai yang tidak memenuhi tiga indikator ini secara benar adalah partai abal-abal yang hanya ingin haus kekuasaan dan calonnya adalah calon yang haus akan riwayat organisasi di CV (buat kerja nanti). Sedangkan partai yang mampu membangun sistem rekruitmen yang baik, struktur organisasi yang jelas, dan kemunculan partainya tidak hanya saat pemira adalah partai yang kompeten untuk dipilih. Pertanyaannya kembali pada anda. Apakah anda sudah yakin partai atau calon yang anda dukung dan akan anda pilih sudah menjalankan tiga indikator tadi? Jika belum, saya tidak menyarankan anda untuk tidak memilih atau ikut-ikutan memilih karena diajak teman, sahabat, dan handai taulan. Carilah informasi sebanyak-banyaknya terkait partai kampus dan yakinkan diri anda.
Namun, tiga indikator tadi bukan merupakan hal yang mutlak, jika ada pertimbangan lain, seperti kedekatan dengan calon senat atau presma atau mengetahui derajat keilmuan dan intelektualitas calon senat, maka kombinasikan tiga indikator ini dengan pertimbangan tadi, atau gunakan salah satunya. Sekali lagi, sangat tidak disarankan untuk tidak memilih pada Pemira nanti. Sebagi warga universitas yang baik mari kita sukseskan Pemira tahun ini dengan datang ke tempat pemilihan umum, meskipun dengan menyobek kertas suara atau meludahi lalu melipatnya lagi (sangat tidak disarankan).
Bagi anda yang merasa calon senat dan tersakiti hatinya dengan tulisan ini dan merasa anda cukup dikenal dan berkualitas, silahkan tulis balasan anda. Mari budayakan membalas kritik dengan tulisan bukan dengan cemoohan. Terima Kasih.