Saya (s) : jarang mas, cuma beberapa kali dulu sebelum kuliah. (kenyataan saya tidak pernah ikut).
Mas (m) : ohh, cobalah ikut sekali-kali. Kamu tau kiyai Muzakki? (seorang kiyai yang cukup terkemuka di jatim)
S : ohh ia saya tahu mas. dulu pernah diajak ke pengajiannya.
M : dia itu kiyai besar loh, muridnya ribuan, pengajiannya setiap Jumat Manis tak pernah sepi dari pengunjung.
S : ohh ia mas?? ia ia.
S : ohh ia mas?? ia ia.
M : dia itu sudah pernah di "tebak" (diramal) oleh kiyai Hasyim Asy'ari (pendiri NU) bakal jadi kiyai terkemuka, pengunjungnya saja dari Amerika, Luar Negeri, Mesir, Mekkah, bahkan ada yang mengatakan dia itu keturunan dari Syekh Abdul Qadir Jaelani (seorang ulama besar).
S : ohhh, ckckckc, ya ya ya. (disini, saya kagum sekaligus agak kaget)
M : dia (Kiyai Muzakki) itu gak sombong meskipun ilmunya tinggi dek, dia itu istiqomah, ini yang terpenting. Gak peduli ilmunya tinggi tapi gak istiqomah itu percuma. Kita juga harus istiqomah, jangan sombong, kayak dia.
S : ia mas. itu penting sekali, istighfar juga (ini saya ucapkan dengan sangat perlahan)
Percakapan ini adalah bagian pertama. Pada percakapan ini, mas ini menasihati saya banyak hal dan juga bercerita banyak hal. Dia bercerita soal silsilah kiyai, pengalaman dan kemampuan mereka, pesan-pesan teladan, dan hal-hal yang bisa kita gunakan sebagai bekal kita hidup di akhirat nanti. Atau sekilas, mas ini memberi gambaran bahwa ia adalah mas-mas berwajah gelap yang taat beribadah. Tapi ini tahap pertama. Mari kita lihat percakapan tahap kedua:
S : mas kerja di mana? (disini saya sedikit mengalihkan topik)
M : di perusahaan mebel, kamu kuliah di mana?
S : di Jogja mas, ohhh. jadi mas buat mebel?
M : enggak, saya bagian pengiriman. UGM ya? saya pernah kesana.
S : ohh, ia mas. wah ngapain mas ke Jogja dulu?
M : dulu studi tour. eh gimana cewek di jogja? cantik2 ya? kamu punya pacar?
Saat pertayaan ini diajukan, mas-mas itu mengubah antingnya ke sebelah kanan, ternyata antingnya dari magnet. Selain anting, seluruh lanjutan percakapan kami berubah.
S : iya gitulah mas. hehehe. gak punya mas. males. mas punya?
S : iya gitulah mas. hehehe. gak punya mas. males. mas punya?
M : punya, (sambil menunjukkan foto pacarnya), di jogja sering "minum" (mabuk)?
S : wah gak pernah mas. takut mabuk. antimo gak mempan (ini juga saya ucapkan perlahan)
M : masa gak pernah? coba lah. oia tau Sarkem kan? saya dulu pas studi tour kesana pas mabuk sampai pagi. murah-murah ternyata. 250 dan 350 sudah dapet. hahaha
S : ohhh, ia ia.
M : eh hapemu apa? ada videonya gak? (sambil tersenyum lirih dan mengangkat alis)
S : wah gak ada mas hape saya biasa (sambil mengeluarkan hape)
M : hmmm, eh kalo di Situbondo gimana ceweknya?
S : ya begitulah mas. kenapa mas?
M : saya dulu ke Situbondo, ceweknya biasa dek, yang nakal banyak. saya dulu sampai mukulin orang gara-gara itu.
S : ohh ia-ia mas, bener itu. (sambil duduk agak menjauh dan berhenti melihat foto ceweknya)
Percakapan bagian dua ini terjadi sepanjang Pajarakan hingga Besuki. Mas ini bercerita tentang dia yang suka mabuk sambil menonton acara musik di alun-alun Situbondo, Bondowoso, sampai Jember, dan setiap Jum'at Manis tak lupa pergi ke pengajian akbar salah satu Kiyai di Jawa Timur. Saya tidak terlalu yakin, tetapi nampaknya perubahan posisi anting cukup berpengaruh. Mas anting kanan ini bercerita banyak soal tempat dia mabuk, pacarnya seperti apa, pekerjaannya, dan kegiatan dia setelah menonton musik (mukulin orang). Ini memberi saya gambaran bahwa kita tidak bisa menilai orang dari penampilannya, bahkan kita tidak berhak untuk menilai orang. Setiap manusia itu diciptakan berbeda-beda dan unik, penilaian kita dari penampilannya berarti menghalangi segala keunikan yang mungkin ada di dalam diri setiap orang. Intinya, don't judge a book from it's cover, tapi lihat di Goodreads.
Epilog
Percakapan dalam bis ini terus berlanjut. Diantara teriakan kondektur yang mencari penumpang dan suara bus yang tak karuan, saya duduk sesekali melihat depan sambil berusaha melihat jalan yang tertutup tengkuk perempuan tapi tetap mendengar mas ini bercerita. Saya berpikir, apakah ini keseimbangan? ataukah ini hanya momen yang tak sengaja muncul dalam perjalanan? Tapi segala sesuatu hadir karena ada tujuan, begitu juga pengalaman mas ini. Kemudian kondektur berteriak "yang Besuki turun!!!" saya berdiri mempersilahkan diri untuk pergi. Saya mengulurkan tangan, sambil berkata, "terima kasih mas." Dia menjabat tangan saya mantap, sambil berkata, "nama saya Dimas, kamu? siapa tahu kita bertemu lagi?", "Andre" kata saya sambil tersenyum lalu berlalu pergi.