Kamis, 27 Juni 2013

Dramatisasi orang mati #2

semenjak itu kau diam

diam dalam kerinduan kita,

diam dalam kesendirian kita,

kau diam dalam banyak kata yang kutinggalkan
kau terus diam meski banyak kata yang mereka singkirkan


kau diam dalam setiap malam yang berbintang
kau terus diam meski tahu itu yang selalu kita kenang

kau terus diam meski semua bilang aku terlalu kehilangan

Minggu, 23 Juni 2013

Tentang Derita Para Pencipta

-derita adalah berkah bagi para pencipta-
Buya Hamka

Kurang lebih begitu kutipan percakapan saat ibu dari tokoh utama wanita, Hayati, meyakinkan Hayati untuk tidak menemui Zainuddin, tokoh utama pria, dalam novel Tenggelamnya Kapal Van der Wijck. Disadari atau tidak, memang benar derita, luka, dan perasaan hina sering menjadi sumber inspirasi terbesar bagi para pencipta, bukan Tuhan atau Dewa, tapi manusia. Pencipta di sini adalah orang-orang yang mampu menelurkan entah karya sastra, karya tulis, kebijakan pemerintah, atau mungkin cinta.

Ada Garin Nugroho membuat film-film berkualitas karena melihat keterpurukan industri film Indonesia, Antonio Gramsci terkenal karena tulisannya saat dia di penjara, Hitler yang berhasil menguasai sebagian Eropa karena keterpurukan hidup di Jerman saat dia muda, Obama menjadi presiden Amerika karena dulu dia hidup di Indonesia (mungkin), dan bahkan Indonesia bisa merdeka karena dulu rakyatnya menderita akibat penjajah.

Berbicara soal derita, akhir-akhir ini banyak derita yang masuk berita. Pedagang daging menderita karena harga daging mahal, ibu-ibu menderita karena harga sayur naik, tukang ojek menderita karena harga bensin bertambah, dan yang paling kasihan mahasiswa menderita karena (katanya) tidak didengar sama pemerintah. Intinya rakyat Indonesia menderita.

Ini menarik, karena secara logika saat ini rakyat Indonesia berada dalam keadaan sama seperti zaman penjajahan. Bedanya, jika dahulu karena Belanda, Jepang, atau mungkin Soeharto dan anak-anaknya, sekarang menderita karena bensin, solar, dan harga-harga naik, jika dahulu harus berhadapan dengan senjata untuk melawan derita, sekarang harus berhadapan dengan harga-harga yang tinggi, jika dahulu harus berdarah-darah, (mungkin) sekarang harus lebih berkeringat saja.

Pertanyaannya, mana yang lebih mudah? Itu tergantung pertimbangan anda yang membaca.

Selanjutnya, jika kita padukan argumen paragraf satu dengan argumen paragraf tiga akan membentuk kesimpulan bahwa seharusnya akan banyak orang Indonesia seperti, Garin Nugroho, Antonio Gramsci dan tokoh-tokoh lain yang menderita dalam hidupnya. Penderitaan yang dialami seharusnya mampu memaksa masyarakat untuk lebih kreatif, lebih cerdas, lebih bekerja keras. Mungkin pedagang daging akan membuat model pengemasan atau bahkan diversivikasi produk sapi sehingga negara tidak impor lagi dan tidak di korupsi lagi, ibu-ibu mungkin akan mengganti tanaman bunga hias yang hanya indah dengan sayur mayur dan buah, dan para tukang ojek akan beralih dari motor berbahan bakar bensin ke bahan bakar gas (siapa tahu), dan para mahasiswa berdemo bisa membantu pedagang daging, ibu-ibu, dan tukang ojek untuk mewujudkan hal itu.

Pertanyaannya, apa mereka sadar akan hal itu?  atau mereka terlalu sibuk mencari siapa yang harus disalahkan dalam masalah ini?


Rabu, 19 Juni 2013

BBM dan SUSU

di Jakarta, mahasiswa berteriak-teriak dengan almamater warna warni,
membakar ban, memblokir jalan, berbuat keributan, demi rakyat katanya,

di Medan, mahasiswa berteriak-teriak di depan warung ayam,
melempar, membakar, merusak, menjarah, demi rakyat katanya,

di Semarang, mahasiswa diam di bawah tenda di tengah kota,
menutup mulut dengan plester hitam, mogok makan, demi rakyat katanya.

di Jogjakarta, mahasiswa tertawa, menari, bernyanyi di jalan
beratribut serba putih, membawa susu, kata mereka untuk generasi muda,



untuk Mahasiswa Peternakan dan Bulan Susu Nasional

Sabtu, 15 Juni 2013

Belanda bisa meramal

Orang Belanda pernah bilang Hoe groter geest, hoe groter beest, artinya semakin tinggi pikiran semakin besar kebinatangannya, atau makin pintar orang, makin bajingan.

Apa itu benar? atau itu hanya karangan?

Belanda tidak mau orang-orang pribumi menjadi pintar, mungkin juga itu refleksi ketakutan dari perlawanan kaum cendikiawan.

Tapi, akhir-akhir ini istilah itu menjadi kenyataan. Banyak orang pintar jadi tahanan, banyak orang pintar jadi pesakitan, banyak orang pintar jadi bajingan.

Ini menjadi pertanyaan, apa orang pintar yang memang seperti bajingan atau Belanda yang ternyata bisa meramal?

Posisi dan Pilihan

Kita harus memutuskan sekarang dan mengambil posisi di mana kita harus berada. Bukan posisi tidur, bukan posisi duduk, bukan posisi lalu lintas, itu polisi, tapi posisi untuk masa depan. Mungkin terkesan berat, maka dari itu tadi ada plesetan kata supaya lebih ringan. Pilihannya ada banyak, menjadi ibu-ibu yang mengawasi anaknya mengemis, menjadi penjual kemoceng dari bulu ayam yang buta, atau menjadi seperti kebanyakan orang yang berseliweran di lampu merah dan tak peduli. Pilihan itu ada di depan mata, jadi tidak usah bingung. Hanya tinggal memilih saja ingin seperti apa.

Pertama, Mulai dari ibu-ibu yang mengawasi anaknya mengemis, mungkin  nanti saat kalian menjadi ibu-ibu dan tidak punya pekerjaan (atau malas bekerja), jadi harus memanfaatkan anugerah dari Tuhan, yaitu anak, untuk belajar "berwirausaha" sejak kecil. Pilihan ini sering diambil saat filosofi jawa "banyak anak banyak rezeki" dianggap tidak berlaku dalam diri seorang pemalas.

Kedua, menjadi penjual kemoceng buta, mungkin nanti penglihatan kalian akan hilang, anak-anak kalian tidak peduli, dan kalian butuh uang untuk menghidupi diri, jadi terpaksa kalian harus menjual kemoceng. Pilihan ini adalah pilihan yang lebih mulia dari sebelumnya, jauh lebih mulia.

Ketiga, menjadi orang yang tidak peduli. Pilihan ini mungkin yang paling mudah, tapi ada kemungkinan bahwa yang memilih ini belum siap untuk menjadi miskin, buta, dan ditinggalkan keluarga, atau terlalu takut menjadi miskin, buta, dan ditinggal keluarga jadi memilih untuk mementingkan diri sendiri, dan tidak peduli. Pilihan ini adalah pilihan yang rasional

Ada pilihan terakhir, pilihan yang tidak populer, pilihan yang tidak sesuai dengan prisnsip ekonomi. Menjadi orang yang peduli. Tak banyak yang mau memilih posisi ini. Alasannya banyak, malas, belum siap (memang nikah), belum mampu, sudah peduli dengan berdoa (wtf). Tapi tidak banyak yang sadar bahwa pilihan ini akan menghindarkan kita dari tiga pilihan sebelumnya.