Sabtu, 27 April 2013

Pemuda dan Kota

Alkisah pada sebuah masa, hiduplah seorang pemuda. Dia tinggal di sebuah kota kecil dimana adat  istiadat masih berakar kuat dalam hati setiap manusia yang tinggal disana. Dia hidup tanpa orang tua, ayahnya mati di negeri nun jauh ketika hendak kembali dari perantauannya, ibunya tak tau hajatnya. Sebagai pemuda yang hidup sebatang kara, dia selalu tertawa. Banyak orang yang menyebutnya gila karena masih dapat tertawa dalam hidupnya yang sengsara dan banyak pula yang menyebutnya jenaka karena dia selalu berkelakar setiap harinya. Namun, siapa yang bisa menebak perihal apa yang ada di hati setiap pemuda. Jika ada yang berucap dia gila, tersenyum lah dia, dan jika ada yang tertawa karena kelakar yang dia bawa, ikut bahagialah hatinya.
Sebagai seorang pemuda, tak lengkaplah jika dia tidak bekerja, karena pantang bagi seorang pemuda di desanya jika tidak bekerja. Mereka lebih takut pada pergunjingan yang akan timbul akibat menjadi pengangguran ketimbang perasaan takut tidak bisa melanjutkan hidup karena patuh pada nilai adat adalah yang utama. Rasa malu lebih menakutkan daripada sepasukan tentara yang berkumis seperti pagar kantor lurah, lebih seram dari cerita-cerita hantu di kuburan belanda di sebelah rumah janda tua kaya di ujung desa. "Setiap yang muda, musti bekerja." begitu kata para orang tua.
Sebagai pemuda yang sering dianggap gila, sangatlah sulit baginya untuk mendapat pekerjaan sebagaimana pemuda pada umumnya. Pernah suatu pagi, dia pergi ke ladang bermaksud meminta kerja pada yang empunya tanah, tapi bukan pekerjaan yang dia dapat, melainkan hinaan yang dia bawa. "ah.... " katanya sambil tersenyum dan pergi menjauh dari laki-laki tua yang menghinanya. Sudah lama dia tidak bekerja, jangankan mendapat kerja, mendapatkan perlakuan yang sama selalu menjadi kesulitan untuknya. Hingga suatu waktu, dia memutuskan untuk pergi, hijrah seperti cerita nabi demi mencari perlakuan yang lebih baik daripada tempat dia selalu dihina.

.....bersambung

Rabu, 24 April 2013

merasa ditampar

pernahkah anda ditampar?
ditampar pacar anda karena anda ketahuan selingkuh? bukan, bukan tamparan itu yang saya maksud.
ditampar guru karena anda memanjat pagar sekolah untuk membolos? bukan, bukan itu juga

ohh, mungkin saya salah bertanya.
pernahkah anda merasa ditampar?
merasa ditampar? apa bedanya dengan ditampar?
itu berbeda. di mana perbedaannya?

jadi, ditampar berarti sudah terjadi, nyata, dan terasa di pipi kanan atau kiri,
tapi merasa ditampar berarti tidak terjadi, tidak nyata, dan terasa di hati.

saya bingung.
ah percuma menjelaskan.
anda akan tahu rasanya jika nanti di suatu waktu, di malam sabtu yang dingin, anda melihat seorang wanita dengan rok mini dan pakaian setengah jadi yang anda hujat setengah mati di dalam hati, duduk bersimpuh di depan pengemis tua sambil memberinya sebotol minuman dan sebungkus roti, dan anda hanya bisa diam dan berlalu meninggalkan pengemis itu dengan uang lima ratus rupiah sisa dari membeli kopi dan permen seharga enam ribu lima ratus.

Rabu, 17 April 2013

Perang

Saya merindukan perang, perang zaman dahulu. Saat tidak ada kendaraan tempur semacam tank dan pesawat tempur, saat tak ada bahan peledak semacam mesiu dan yang lainnya, saat pakaian dari rantai besi masih seberat aslinya, atau saat tajamnya pedang dan tombak menjadi andalan. Saat itu tak ada konsep aerodinamis dan perhitungan matematika rumit untuk mencari sasaran karena semua berkumpul di tanah yang lapang, menggenggam pedang, mencari sasaran. Insting manusia benar-benar menjadi penting untuk bersiap pada saat genting, kuda-kuda tegap dengan pengendara gagah menenteng pedang berada di baris belakang, pemanah di depannya siap dengan busur dan anak panah yang melesat di udara, tak bersuara, di baris depan pria-pria dengan pedang dan tameng yang nafasnya kencang, bersiap berlari menunggu perintah untuk maju, diantara mereka ada penabuh genderang dan pembawa bendera pemberi semangat untuk berjuang.
Semuanya datang ke medan pertempuran, dari raja, penasihat, menteri, pendeta, dan jenderal perang sudah pasti terdepan. Di rumah hanya ada istri yang berdoa untuk suaminya, anak-anak yang sesekali melihat ke arah gerbang depan berharap ayahnya cepat datang, dan penduduk renta yang bercerita kisah kepahlawanan zaman nenek moyang. Kembali ke medan pertempuran, semuanya diam, jenderal perang dan raja maju ke depan bertemu lawan, membicarakan persoalan, kedudukan seimbang dan kepandaian mengintimidasi jadi andalan, yang berpikir lemah akan menyerah, yang berpikir kuat akan terangkat. Namun, saat semua sudah siap, apa yang harus ditakutkan?
Raja dan jenderal perang kembali ke belakang, memberi wejangan terakhir sebelum pertempuran, membakar semangat pasukan. Teriakan-teriakan intimidasi dilancarkan, genderang perang ditabuh, bendera lambang kerajaan di kibarkan. Jenderal perang memberi aba-aba, siapa yang gegabah, dia yang akan kalah.
Namun ini bukan perkara menang atau kalah, ini masalah kebanggaan, kebanggaan untuk kerajaan dan keluarga. Ini bukan perkara uang penghasilan menjadi pasukan, tapi kerelaan untuk membela kerajaan yang dianggap sejalan. Kehormatan, kebanggaan, semangat juang menjadi satu, berpadu dalam darah yang menetes dari luka sabetan pedang. Melihat siapa yang dibunuh, siapa yang terbunuh, dan siapa yang membunuh. Tak ada pengecut yang membunuh orang-orang tak tau apa-apa, karena di padang itu yang ada orang-orang yang siap mati demi apa yang dibela, bukan orang yang sedang di kafe, klub malam, ataupun dikeramaian. Pada saat itu semua yang mati akan meninggalkan cerita bahagia bagi anaknya, istrinya, adiknya, ibunya, dan orang-orang disekitarnya, cerita karena mati berperang dalam membela kerajaan, bukan mati karena terkena ledakan bom yang disembunyikan sehingga menyisakan cerita pedih menyakitkan.

Selasa, 16 April 2013

Mungkin Nanti

Disana ada ledakan, disana teriakan, banyak orang yang berlari, karena tepat dengan lomba lari. Mungkin nanti ada yang diserang lagi, mungkin nanti ada yang dihancurkan lagi, mungkin nanti ada pengeboman lagi, atau mungkin tak akan ada lagi yang terjadi. Mungkin nanti, tak ada yang mengerti.

itu tidaklah buruk, percayalah

mungkin menjadi pembeda tidaklah buruk, karena seseorang yang berbeda hanya berhadapan dengan cemoohan, ejekan, pelecehan, dan mungkin tertawaan. Percayalah itu tidaklah buruk, karena dia akan selalu diingat, diingat oleh orang-orang yang terlambat menyadari, kenapa dia tidak melihat "seraut wajah" si pembeda dari awal.

Jumat, 12 April 2013

bercanda bersama bapak bagian pertama


1# suatu sore, bapak bercerita tentang bagaimana ibu, istrinya, begitu tergila-gilanya pada bapak, sampai-sampai ibu rela mendatangi tempat kerja bapak, yang kira-kira jaraknya 2 jam perjalanan dengan bus, hanya untuk bertemu bapak. "Hebat" hanya kata itu yang bisa saya sampaikan begitu mendengar ceritanya. Kemudian, saya bertanya bagaimana caranya, Dia bilang, "bapak dulu ganteng mas", sambil tersenyum dengan sedikit mengangkat alis. Saya bukan anak yang mudah percaya orang tua, jika bapak saya dulu ganteng, seharusnya saya juga, begitu logikanya. Tapi kenyataannya, ah.. lupakan. (saya manis)
Tidak puas mendengar jawaban bodoh itu, saya tanya ibu, dan jawabannya sangat mencengangkan. Ternyata, bapak menyuruh temannya yang berwajah sedikit mirip dengannya, untuk datang bertemu ibu, mengaku-ngaku sebagai saudara bapak dan meminta ibu, belum istrinya waktu itu, untuk mengantar teman bapak itu ke kantor tempat bapak bekerja. Nah, disini menariknya, sesampainya di tempat kerja bapak, saudara gadungan itu langsung menghilang entah kemana, hanya menyisakan ibu yang berdiri berhadapan dengan bapak, belum suaminya waktu itu, sendiri, ditempat yang jauh dari zona nyaman-nya, dan tidak mampu berbuat apa-apa.

2# di suatu pagi, saat saya bertanya, "pak mas mau kerja sambil kuliah". Dia diam sejenak, "dulu kuliah yang bentar lagi kerja malah DO, sekarang disuruh kuliah aja gak usah kerja dulu malah mau kerja, mau-mu gimana sih le,". Saya diam, menunduk dan pergi mandi.

3# pagi itu bapak masih tidur nyenyak, masih jam 5 pagi. Ibu membangunkan bapak, menyuruhnya membeli beras di warung. Bapak bangun, pergi ke kamar adek, membangunkannya dan menyuruhnya membeli beras, disuruh ibu katanya. Adek takut sama ibu, adek beli beras. Bapak tidur lagi

4# saat itu saya masih SD, bapak masih berumur 40 tahun-an. Saya sering bertanya, darimana asal nama "Rijensa", dia bilang itu dia dapat waktu dia sholat tahajjud. Saya pikir, nama saya pemberian Tuhan. Kemudian saat saya sudah SMA, bapak sudah 50 tahun, Ibu bilang nama itu awalnya "Riansyah" tapi karena tukang sensusnya budek (tuli), atau dia sedang mabuk, sehingga yang keluar di akte kelahiran jadi "Rijensa". Saya melihat ke bapak, ingin mengklarifikasi, dia hanya tersenyum dan mengangguk. Itu sudah cukup.

5# bersambung

Rabu, 10 April 2013

kata mereka kita banyak bicara, itu benar.

kata mereka kita banyak bicara, itu benar.

kata mereka kita memberontak, itu tujuan.
kata mereka kita harus kembali, itu mimpi.
kata mereka kita diberi kesempatan, itu tipuan.
kata mereka kita akan ditinggalkan, itu babi.

kita akan bergerak, karena kita harus bergerak
mereka akan menghadang, kita akan mendobrak
mereka akan menembak, kita akan berteriak
kita tertembak, mereka terbahak

kita berlari, mereka bernyanyi.

di malam hari, saat luka-luka tak sempat dibersihkan
di malam hari, saat semua selongsong peluru masih berserakan
di malam hari, saat setiap yang tertinggal menjadi bulan-bulanan
di malam hari, saat mereka bernyanyi setelah membunuh kebebasan

semuanya sepi, sunyi, tapi tidak jiwa kami.


untuk semangat pergerakan yang entah datang darimana.

ANDA

semudah itu saya mengagumi anda,

sesingkat kalimat yang anda catat, meski tak sempat anda berucap selamat, tapi hati saya sudah terikat,
terikat dalam kata yang anda angkat, cukup satu atau dua kalimat , dan hati saya sudah lekat,

harus saya akui anda hebat, sehebat bapak saya,
harus mereka akui anda hebat, sehebat bapak-bapak mereka

saya tidak tau anda datang darimana, saya tidak tahu anda siapa,
yang pasti anda disana, membuat saya membaja

jika kata anda diam berkata lebih baik daripada kata yang diam
maka saya akan diam dan berkata tanpa berkata yang diam
jika anda bilang setiap manusia butuh pembeda
maka ijinkan saya  jadi pembeda

ah, ini sudah terlalu jauh, terlampau jauh
saya hanya ingin mengucapkan "terima kasih"


untuk anda yang tak ingin dikenal, dan tidak saya kenal

Senin, 08 April 2013

aku, kau, dan kematian

aku terbujur kaku, kau tersedu

aku bilang, berhentilah terisak,
kau bilang, aku sesak

aku hendak kembali, kataku
jangan pergi, katamu

aku bilang, kita akan bertemu lagi nanti
kau bilang, aku benci perpisahan

katamu, berhentilah berkata-kata seperti itu
kataku, aku ingin mengahbiskan kata terkahirku untukmu

aku terdiam, kau terdiam

aku pegang tanganmu, kau elus pipiku
aku tersenyum padamu, kau menatapku sendu

aku benci tatapanmu, kataku
aku benci keadaanmu, katamu

terlalu cepat jika sekarang, katamu
kematian bukan halangan, kataku

kau cium keningku

aku terdiam, sedikit terpejam, kemudian melayang



Kamis, 04 April 2013

Pos Ronda kami

Di komplek rumah saya, di Situbondo sana, ada sebuah pos ronda, di sudut jalan komplek kami yang kecil. Pos ronda itu tidak terlalu besar, warnanya biru cerah, atapnya dari genteng sisa pembangunan rumah. Di belakang pos ronda itu ada sawah, biasanya ditanam padi, tapi lebih sering jagung. Di dekat pos ronda itu ada lapangan sepak bola yang tanahnya tidak rata, dan banyak kotoran kambingnya, di utara pos ronda ada sungai kecoklatan yang cukup luas untuk berenang. Biasanya sebelum kelapangan, kami berkumpul di pos ronda itu untuk menunggu teman-teman yang lain, sekalian bercanda dan terkadang bercerita tentang siapa yang paling cantik di kompleks kami. Dan saat siang terlalu panas, kami berkumpul di pos ronda itu, mandi di sungai yang seperti susu coklat. Malamnya, seusai shalat Isyak, kami berkumpul lagi. Jika malam itu malam minggu dan sedang musim jagung, kami sudah siap dengan kayu bakar dan minyak tanah satu liter, yang dulu harganya masih 1000 rupiah se-liter.  Malam minggu itu kami akan makan jagung bakar dengan bau minyak tanah sedikit.

Tapi itu dulu, itu dulu saat kami masih menjadi anak-anak yang tidak takut pada penjaga sawah, tidak peduli pada dosa, dan tidak terbebani apa-apa. Sekarang beda, generasi saya sudah tua, sudah tidak di kompleks kami dulu, jadi mungkin pos ronda itu bisa kami wariskan pada generasi dibawah kami atau mungkin dimanfaatkan dengan benar sebagai pos ronda dan bukan markas para pencuri jagung. Sayangnya, jaman sudah beda, anak-anak jaman sekarang sudah tidak lagi main bola, tidak suka jagung bakar bau minyak tanah, tidak suka mandi di sungai coklat. Mereka lebih suka main game online sambil sembuyi-sembunyi merokok dan berkeringat karena seharian gak mandi demi chips poker atau pangkat PB (point blank).

Ah dosa kami terlalu cepat dewasa, sehingga tidak sempat memberitahu mereka, asyiknya main bola sambil loncat-loncat karena menghindari kotoran kambing, segarnya mandi di sungai warna susu coklat, enaknya  jagung curian dengan rasa minyak tanah sedikit.

Akhirnya pos ronda sarang pencuri jagung tidak memiliki pewaris. Dia tergolek lemah tak berdaya di sudut kompleks. Terlupakan? dilupakan tepatnya. Dilupakan oleh generasi baru jaman globalisasi, yang tidak suka mencuri jagung tapi mencuri kesempatan merokok, yang tidak suka berbasah-basahan dengan air sungai yang coklat tapi basah dengan keringat karena panas bilik warnet sempit dan asap rokok.


               Ini pos kami sekarang, hampir rubuh

Saya tidak berharap kamu rubuh wahai pos ronda, tapi jika dengan bertahannya kamu, kamu akan semakin dilupakan, ditinggalkan, dan dijadikan untuk tempat kencing orang tak bertanggung jawab, maka akankah lebih baik kamu roboh dan membiarkan cerita saya dan teman-teman saya tersimpan dalam ingatan saya saja. Saya ikhlas.