Senin, 10 Maret 2014

Belajar Dari Gerakan Sosial Baru

Apakah ada hegemoni secara menyeluruh seperti kata Gramsci? Tidak, kata James Scott, seorang pengamat perlawanan petani Asia Tenggara. Dalam sebuah hegemoni selalu ada perlawanan, setidaknya itu yang terjadi di dalam perlawanan petani miskin yang terjadi di Sedaka, sebuah daerah di Malaysia. Perlawanan ini terjadi tidak dalam jumlah yang besar dan sekaligus (aksi kolektif), tetapi dalam tingkat yang kecil, berlangsung setiap hari dan terus-menerus. Perlawanan ini yang disebut oleh Scott sebagai everyday resistance. Perlawanan sehari-hari inilah yang disebut senjata kaum lemah. Fakta ini kemudian dijadikan sebagai kritik terhadap konsep hegemoni atau dominasi ideologi dari Gramsci. Mengapa? Karena Gramsci mengatakan bahwa dominasi ideologi akan menjamin terciptanya keteraturan sosial dan aparatur negara yang menindas menjadi layar dibaliknya. Kondisi ini meletakkan kelompok penguasa berada dalam posisi yang kuat dan diterima, dan segala tindakannya yang menindas diterima sebagai sebuah  kewajaran. Hegemoni, dalam istilah Marcuse, memunculkan euphoria in unhappiness, yakni kebahagiaan dalam ketidakbahagiaan, atau perayaan atas ketidakbahagiaan, (Herbert Marcuse, 2002, hal. 7) atau menurut Joseph Femia adalah subordinasi moral dan intelektual. Dalam kondisi ini, masyarakat tidak akan mampu melakukan perlawanan terhadap hegemoni, karena masyarakat tidak sadar (dibuat tidak sadar), sehingga dibutuhkan kesadaran terlebih dulu untuk bergerak dan melawan. Ringkasnya, dalam logika Gramsci, pemerintahan yang kuat dan mendapat legitimasi masyarakat memunculkan sebuah kesadaran palsu di masyarakat, yang mana kesadaran palsu ini membatasi atau menghambat masyarakat untuk keluar dari dominasi ide yang dilakukan oleh penguasa, dan dalam pengertian ini Gramsci mengemukakan pentingnya intelektual organik, yang sadar mampu menyadarkan masyarakat dan membangkitkan kesadaran kritis. Kesadaran kritis ini ditentukan oleh ideologi yang dibawa oleh intelektual organik tadi. Dan ketika kesadaran kritis ini terbentuk dalam masyarakat, barulah ada aksi kolektif yang diharapkan mampu untuk melakukan perubahan sosial yang radikal. Aksi ini sering disebut sebagai gerakan sosial.

Namun, dalam kondisi di Sedaka, petani tidak perlu menunggu datangnya juru selamat-- sang intelektual organik--yang diharapkan mampu menyadarkan dirinya akan ketertindasannya. Menurut Scott, dalam konsep hegemoni Gramsci, terdapat lima hal yang kurang diperhatikan. Sayangnya, saya kurang bisa mengartikan secara baik lima hal tersebut dalam kaidah bahasa Indonesia, maka saya akan meringkasnya seperti ini.
Konsep hegemoni Gramsci abai dalam memperhatikan keberadaan kaum tertindas, terutama dalam hal pengalaman material yang melatarbelakangi ideologi yang sebelumnya mereka anut. Pengalaman material disini dapat berupa relasi ekonomi yang sebelumnya telah terbentuk antar masyarakat. Masuknya ideologi dominan, yang selanjutnya menjadi ideologi hegemon, secara tidak langsung menghancurkan relasi ekonomi ini. Namun, pada kenyataannya hadirnya ideologi hegemon tidak mampu--secara penuh--menghancurkan pengalaman-pengalaman material tersebut, karena jika dilihat secara historis masyarakat akan mempertahankan interpretasinya terhadap ideologi yang mereka anut sebelumnya, yang mana berbeda atau bahkan melawan ideologi baru yang dibentuk oleh elite dan/atau negara. (James C. Scott, 1985, hal. 317-8)
Penjelasan diatas yang kemudian mengakibatkan para petani di Sedaka melakukan perlawanan, tapi dalam bentuk-bentuk aksi non-koletif dan militan, seperti pencurian, pembakaran, dan bentuk-bentuk perlawanan lainnya, demi meningkatkan kondisi mereka. Namun, bagaimana mungkin aksi-aksi yang seperti ini mampu melepaskan mereka dari dominasi, jika aksi ini hanya mengandalkan keberanian dan spontanitas, tanpa ada sediktpun ruang untuk benar-benar secara terbuka berhadapan dengan aparatur yang menindas tadi? Jawabannya terletak pada arti dari perlawanan itu sendiri. Dalam kondisi normal, aktivitas melawan memiliki tujuan untuk menghancurkan dominasi, tetapi menurut saya, aktivitas melawan bukan melulu menghancurkan dominasi. Aktivitas melawan seharusnya mampu membangkitkan semangat melawan bagi yang lain. Aktivitas melawan harus mampu menciptakan kondisi revolusioner yang dapat mendukung revolusi radikal. Jadi kuncinya terletak pada kondisi yang harus mampu dia ciptakan, bukan sebanyak apa orang yang sadar dan mau untuk melawan.

Menurut James Petras dan Henry Veltmeyer, ada dua bentuk strategi aksi melawan kapitalisme, pertama aksi seperti para petani di Sedaka, melakukan perlawanan yang sifatnya non-kolektif yang berutujuan memperbaiki kondisi hidupnya, yang kedua  membentuk sebuah aksi kolektif yang memungkinkan adanya gerakan sosial dan menghancurkan kapitalisme (Petras dan Veltmeyer, 2011, hal. 2). Aksi pertama lebih dikenal dengan sebutan new social movement. Jika kita lihat disini, dua aksi ini oleh Petras dan Veltmeyer sama-sama disebut sebagai aksi perlawanan. Maka, kita dapat menyimpulkan bahwa dua aksi yang dilakukan baik kolektif dan non-kolektif memiliki tujuan yang kurang lebih sama, menghilangkan dominasi atas dirinya. Kritik yang sering muncul atas new social movement ini adalah ketidakmampuannya dalam melingkupi keseluruhan masyarakat, terlalu mengawang-ngawang dan jauh dari realitas sosial, orientasinya yang terlalu menekankan identitas ketimbang ideologi, yang secara sarkastik disebut Petras dan Veltmeyer sebagai politik imaji posmodernis (ibid, hal. 80). Hal ini wajar, mengingat pentingnya pembahasan identitas seseorang muncul karena kapitalisme telah menghilangkan ikatan-ikatan tradisional yang membentuk identitas kelompok, sehingga seseorang kehilangan identitasnya, dan mengharuskannya mencari identitas baru. Dengan kata lain, semangat perjuangan mencari identitas individu bukan lagi perjuangan untuk melepaskan dominasi melainkan melanggengkan dominasi karena alih-alih menghancurkan belenggu kapitalisme yang menghilangkan identitas kelompok, mereka mencari bentuk identitas baru agar bisa hidup didalamnya. 

Namun, jika kita kembali pada pembahasan gerakan sosial. Kita dapat melihat gerakan sosial baru telah mencapai tahap perlawanan yang jauh lebih maju dibanding dengan perjuangan  gerakan kiri dalam agenda besar menghancurkan kapitalisme. Tak jarang gerakan sosial baru digunakan oleh aktivis gerakan kanan untuk menjalankan agendanya melanggengkan kapitalisme. Seperti yang terjadi di Ukraina protes kelompok ultra kanan yang pro Uni Eropa, yang awalnya (hanya) menolak kebijakan negara yang terlalu dekat dengan Rusia, menjadi  perlawanan besar-besaran terhadap konstitusi karena dianggap memberikan wewenang terlalu besar terhadap Presiden. Hingga berakhir dengan jatuhnya presiden Ukraina. Atau yang saat ini sedang terjadi di Venezuela, ketika kelompok ultra-kanan anti revolusi bolivarian ala Chaves berusaha menciptakan kondisi revolusioner dengan membawa isu-isu demokrasi, hak asasi manusia, dan agenda neoliberal lainnya. Atau yang sedikit lama, ketika pemerintahan sosialis Chile di masa Allende dijatuhkan secara sepihak oleh militer dibawah pimpinan Pinochet. Aksi-aksi diatas saya rasa tidak menunggu kesadaran dari seluruh masyarakat untuk mengetahui agenda, tujuan, dan maksud dari aksi perlawanan tersebut. Tetapi yang berusaha mereka ciptakan adalah kondisi yang mendukung semangat revolusioner dari tiap-tiap individu dalam masyarakat. Mereka berusaha membangkitkan kembali pengalaman material masyarakat sehingga seolah-olah ada kesamaan visi dalam perlawanan mereka, padahal sebaliknya. Inilah yang disebut oleh Indoprogress sebagai neopopulisme.

Kemudian dimana gerakan aktivis kiri? Saya rasa ada ketakuatan dari aktivis kiri untuk membangun sebuah gerakan yang spartan, yang gampang runtuh karena arus pasang. Aktivis gerakan kiri nampaknya sedang menyusun strategi yang benar-benar ciamik untuk meruntuhkan kapitalisme. Tapi sepertinya mereka lupa permainan sudah berjalan. (lupakan). Lalu apa pelajaran yang bisa kita ambil. Saya rasa dalam membangun sebuah gerakan, kita harus banyak belajar dari gerakan sosial baru tersebut. Bukan dari apa yang diperjuangkan tapi semangat yang berusaha dia salurkan. Semangat untuk terus melakukan perlawanan, dengan mengingatkan kembali pengalaman material yang ada dalam benak setiap individu. Dalam level mikro, ketrlibatan masyarakat dalam aksi protes (perlawanan) bukan ditentukan oleh proses ideologisasi atau kesadaran akan kepentingan politiknya, tetapi hasil dari keterikatan sosial dan kedekatan asosiasional yang dapat mempersiapkan mereka secara struktural mampu melakukan aksi tersebut. (Doug McAdam, dalam Enrique Larana, 1994, hal. 36-7). Keterikatan sosial dan kedekatan asosiasional ini ditunjukkan oleh petani di Sidaka dan banyak aksi-aksi gerakan sosial baru di dunia. Contoh gerakan sosial baru yang menurut saya berhasil adalah protes pengguna telepon di Argentina. Aksi ini kemudian menjadi penting untuk diamati karena dalam proses perlawanannya, yang mulanya hanya dilakukan oleh kelas menengah perkotaan berhasil "menghasut" masyarakat Argentina untuk melakukan perlawanan terhadap agenda-agenda neoliberalisme di Argentina (lihat Sybil Rhodes, 2006) . Meskipun aksi ini tidak lepas dari krtitik, seperti kontinuitas perlawanan yang kemudian berakhir ketika harga telepon rendah, tanap melanjutkan agenda politik yang lebih besar. Terlepas dari hal tersebut, yang bisa kita cermati adalah kemampuannya untuk menciptakan sebuah keterikatan sosial di dalam masyarakat. Inilah yang tidak ada dalam aksi-aksi gerakan kiri. Menurut Marcuse semangat revolusioner (kondisi revolusioner) akan muncul ketika praktik-praktik politik berhasil mengubah masyarakat (Herbert Marcuse, 1969, hal. 79). Disinilah everyday resistance hadir sebagai praktik politik keseharian yang mampu mengubah masyarakat dan menciptakan kondisi revolusioner yang dikatakn Marcuse.

Referensi

H. Marcuse, One-Dimensional Man: Studies in The Ideology of Advance Industrial Society, Routledge, New York, 2002, 
------------, An Essay on Liberation, Beacon Press, Boston, 1969,

J. Petras dan H. Veltmeyer, Social Movements in Latin America: Neo-liberalism and Popular Resistance, Palgrave Macmillan, New York, 2011,  
S. Rhodes, Social Movement and Free-Market Capitalism in Latin America: Telecommunications Privatization and The Rise of Consumer Protest, State University of New York Press, New York, 2006,
D. McAdam, "Culture an Social Movement", dalam E. Larana, H. Johnston, dan J.R. Gusfield, New Social Movement: From Ideology to Identity, Temple University Press, Philadelpia, 1994,
J. C. Scott, Weapons of the Weak Everyday Forms of Peasant Resistance, Yale University Press, New Heaven, 1985,
C. H. Pontoh, Neopopulisme, editorial Indoprogress, 3 Maret 2014, diakses dari <http://indoprogress.com/2014/03/neopopulisme/> diakses pada 10 Maret 2014