Senin, 30 November 2015

Suatu Hari


Satu persatu daun gugur, hari gugur, cinta gugur.
Perlahan lahan matahari turun, langit senja turun, air mata turun.

Ada yang pergi
Ada yang kembali,

tapi tak pernah mengerti.

Dikala senja, seseorang pergi, tak mati, tapi tak kembali,

hingga suatu hari,

Jumat, 02 Oktober 2015

Titin

Titin adalah gadis yang tak bisa bicara, dia bicara dengan jari, tangan, dan senyum. Banyak dari kami yang tidak mengerti. Hingga suatu hari titin harus pergi dalam waktu yang cukup lama. Titin datang memeluk kami. Saat itu kami sadar dia memiliki satu bahasa yang kami semua mengerti, cinta.

***

Suatu hari yang lain, Titin datang ke pondokan kami bersama dengan teman-temanya. Wajahnya ceria melebihi anak-anak lainnya. Dia tak banyak bersuara, tapi kami tahu dia lebih bahagia daripada temannya yang lain, bahkan lebih bahagia dari kami yang bisa tertawa dan berbicara.

***

Saat kami hendak pulang, Titin datang membawa surat singkat dan pelukan hangat. Kami tak pernah tahu dia bisa menulis. Kami juga tak pernah tahu dia bisa membuat surat yang begitu dalam. Kami tak pernah tahu, mungkin kami tak pernah mau tahu,

***

Titin tak pernah bersedih, satu lambaian tangan dan tawa singkatnya sudah cukup membuat kami tahu. Titin tak pernah bersedih, bahkan ketika kami harus pulang dan tak akan kembali dalam waktu singkat. Mungkin, dia tahu bahwa kehilangan adalah cara yang paling tepat untuk mengingat.

***

Titin adalah seorang anak di tempat KKN yang mempunyai keistimewaan. Dia lebih banyak memberi pelajaran berharga daripada kami.

Selasa, 12 Mei 2015

Cerita Sore

Suatu sore di pekarangan rumah, sepasang suami istri sedang menghabiskan waktu mereka dengan secangkir kopi dan matahari yang mulai keemasan. Sang suami baru saja menyapu daun-daun kering pohon rambutan, sang istri meletakkan bahunya disandaran kursi, dan burung gereja terbang melintas rendah.

"Kenapa kau diam saja?" tanya sang istri yang penasaran sedari tadi heran mengamati suaminya yang tidak seperti biasanya. Bukan kemeja lusuh dan celana pendek putih yang biasa dia kenakan untuk menyapu halaman, bukan juga rokok yang selalu terselip di telinganya. Melainkan sikap sang suami yang sedari tadi diam saja seperti daun kering yang disapunya.

"Apa menyapu halaman harus berbicara" jawab suami singkat sambil menyalakan korek untuk membakar sampah.

Biasanya, seusai menyapu daun kering, sang suami langsung membakar daun-daun kering itu, lalu merokok dan minum kopi. Kemudian berbincang riang diselingin candaan cabul dan cubitan mesra dari sang istri. Hari ini tidak demikian. Sang suami tetap menyapu, tetap membakar sampah, tapi tidak menyapa istrinya. Ingat mata seorang istri sulit untuk dibohongi. Apalagi sang istri sudah 20 tahun melakukan ritual itu bersama suaminya, kecuali hujan dan ada acara keluarga, tentu saja bisa menangkap tanda-tanda yang berbeda dengan suaminya sore itu. 

"Tak biasanya kau diam seperti ini saat menyapu halaman, sudah seminggu bahkan kau jarang berbicara denganku" sang istri menjawab pelan, meskipun dalam hatinya ingin sekali memasukkan gagang sapu kedalam mulut suaminya yang menanggapi pertanyaannya dengan ketus.

Sebagai soerang istri sudah sepantasnya dia menahan diri. Kau tau, selain berdandan, mengasuh anak, dan memasak, menahan diri adalah kemampuan yang harus dimiliki untuk menjadi seorang istri. Bisa kau bayangkan jika istri-istri di dunia tidak memiliki kompetensi dasar ini, pastilah lokalisasi dan warung kopi akan menjadi tempat yang lebih ramai daripada sekarang.

"Satu-satunya hal yang bisa dilakukan oleh orang yang semakin tua adalah menjadi bijaksana, dan diamku adalah  kebijaksanaanku,"

"Kau kutip dari mana kata-kata itu. Kau lebih terlihat seperti orang semakin bersedih, tua memang, tapi tidak terlihat bijaksana,"

"Seperti itukah menurutmu?"

"Sepertinya begitu? ceritakanlah padaku, agar aku berguna sebagai seorang istri, bukankah kau selalu menginginkan istri yang selalu bisa mendengarkan keluhan-keluhanmu?"

"Aku memang ingin istri yang bisa mendengarkanku, tapi bukan istri yang selalu ingin tahu urusanku."

sang istri tertegun sejenak. "baiklah aku akan benar-benar diam untukmu."

Sang suami tahu ritual hari itu sudah berakhir. Sang istri pun tahu dia telah gagal menahan diri. Sampah telah habis dibakar, kopi juga telah habis diminum, tapi tidak dengan kebekuan mereka di sore selanjutnya dan selanjutnya lagi. Akhir cerita, sang istri mati beberapa bulan kemudian, katanya karena tak kuat menahan sepi dan kangker yang dideritanya beberapa tahun yang lalu. Komplikasi dua penyakit itu memang menyakitkan. Sedangkan sang suami menikah lagi beberapa minggu setelah kematian istrinya, dan dia terus melakukan ritual sore dengan istri barunya, tetapi lebih ceria dan cabul daripada sebelumnya.

Tamat

Senin, 20 April 2015

berhenti

berhentilah sejenak,
duduk
rebahkan tanganmu
diam
hari tak kan lari
meski dikejar sampai mati


Selasa, 10 Maret 2015

Bagaimana kita mengakhiri hubungan

Suatu malam kau mengajakku berjalan-jalan mengelilingi kota Yogyakarta. Aku memakai kaos hitam bergambar lidah menjulur dan jaket jeans, sedang kau memakai kemeja flanel lusuh yang tak dikancing, dengan kaos hitam yang menonjolkan dadamu. Rambutmu diikat kuda kebelakang dengan poni depan yang dibiarkan tergerai liar tertiup angin. Ah, kau cantik sekali. Dan kita sama-sama memakai celana jeans, aku hitam dan kau biru dengan sobekan nakal di atas lutut.

Malam itu kau merajuk ingin menikmati angin kota jogja yang sedari sore diguyur hujan. "Udara setelah hujan itu menyegarkan" sahutmu riang dengan senyum yang tak mampu kugambarkan dengan tepat seperti apa indahnya. Menghadapi senyum dan rajukan manja darimu aku tak bisa berbuat apa kecuali tersenyum dan berkata, "ayo bersenang-senang". Kaupun tertawa memelukku, akupun lemas, ada yang ingin mengeras.

Aku nyalakan motor matic tahun 2005 berwarna merah milikku. Kita berjalan, melaju membelah malam. Mereguk setiap kesegaran yang disisakan hujan dan debu basah. Kau begitu bahagia dibelakangku. Memelukku erat sesekali bercerita tentang kuliah, teman, gosip murahan, dan ciuman kita. Ah kau memang suka sekali bercerita. Dari tempatku, kita berjalan lurus menuju tugu, lurus terus menuju kompleks hotel baru dikanan kiri jalan hingga stasiun tugu. Berbelok ke kiri, jalanan sedikit turun, lalu berhenti sebentar di lampu merah. Berjalan lagi melewati bawah rel kereta, sedikit berkelok lalu kita menyusuri malioboro yang sudah sepi.

"Tenang sekali, andai seperti ini setiap hari," katamu sambil tertawa riang.
"Ya, sangat tenang, tapi jika setiap hari begini kasihan ibuk-ibuk penjual batik dan bapak tukang parkir," aku berkata sambil terus melihat jalan.
Kau diam, dan tertawa lagi, "dasar manusia serius," katamu sambil tertawa.
Kita terus melaju membelah jalan, entah kenapa kau ingin aku berjalan memutar, kembali menuju jembatan di jalanan dekat tugu. Katamu tugu lebih indah dari jembatan itu. Aku kembali memutar, kuperhatikan bensin, masih cukup untuk sekali putaran. Kau terus bercerita, aku terus melihat bensin, takut mati ditengah jalan. Bisa-bisa dibegal orang.

Kita berbelok lalu berhenti di jembatan. Aku matikan motor, membuka helm. Kau menggandengku menuju bibir jembatan. Kita diam menarik nafas, menghela lelah. Kau mengamati sekitar. Hanya ada dua pasangan yang sedang berpacaran. Menjadi tiga dengan kita, tapi kita tak berpacaran. Kau tak suka bermesaraan di jalan. Apalagi jembatan. Lebih suka di kamar sempitku atau di mobil hitammu yang berkaca gelap.

"lihatlah indah bukan" katamu menunjuk Tugu yang putih seperti pualam dengan ujung emas
"ya seperti biasa, lama-lama menjadi membosankan," kataku ringan
"ya membosankan," katamu

Kau lalu berpaling pada jembatan dan rumah-rumah dibawahnya. Menarikku lagi dan kita bersama melihat rumah, lampu-lampu, atap-atap hitam, bendera partai sobek, dan sungai.

"ini lebih indah bukan?" tanyamu
"ya, lebih indah." kataku
"priceless," katamu sambil memainkan tangamu diudara. Lalu kau tertawa lepas. Akupun tertawa karena kau terlihat bodoh.
"kau tau apa yang ironis sayang?" aku berkata sambil melihat ponimu yang tersibak angin malam.
"apa?" tanyamu penasaran
"kita bersama-sama menikmati kemiskinan orang-orang itu, kita menikmati rumah kumuh mereka yang berada di bawah jembatan, kita menikmati lampu 5wat mereka yang redup, kita menikmati keberadaan mereka dibawah sana. Dan kita bilang itu indah. Ironis bukan?" Aku melihat lagi kearah rumah, lampu-lampu, atap-atap hitam, bendera partai sobek, dan sungai. Kau tak menjawab. Kita berdua diam selam lebih dari 15 menit. Lalu kau mengajakku pulang.

Dijalan kita tetap diam. Kau tak lagi riang. Tak ada candaanmu tentang angin malam, hujan, atau jembatan. Kau terus diam. Hingga gerimis turun.

"jangan terlalu dipikirkan," sahutku
"tidak, aku biasa saja," katamu
"kenapa kau diam?" 
"Kau terlalu serius sayang," katamu ttertawa sambil mencubiti perutku. Aku kaget dan berusaha mengelak dari cubitanmu. Secara bersamaan ada lobang besar didepan. Aku tak bisa menghindar. Motor menjadi oleng dan jalanan licin mendukungnya terus oleng tak terkendali. Kita akan jatuh.

Dan,, kita sesaat terdiam. Kau menahan nafas, aku terhenyak. Semuanya menjadi beku, angin, aku, kau, jalanan. Motor berhasil kukendalikan. Kita berdua tertawa lepas. Dan kisah ini tak menjadi kisah suram yang berlatar bahagia. Beberapa bulan kemudian kita mengakhiri hubungan karena kita merasa sudah tak cocok lagi.

Rabu, 11 Februari 2015

Intermezzo bag II

Seorang perempuan namanya Airash. Wajahnya biasa, kerudungnya se-dada. Dia belum berkeluarga, hanya ada seorang pria yang sedang singgah di hatinya. saya tidak tahu sudah berapa lama, semoga saja bertahan lama. Suatu malam saya membaca beberapa tulisannya. Cukup bagus untuk seorang pemula yang menempuh jurusan sastra di universitas yang cukup ternama. (Itu bercanda) Tulisannya seperti biasa, selalu bisa menggoda saya untuk menulis entah untuknya ataupun wanita yang sedang saya suka. Tapi yang jelas dia punya peran dalam beberapa tulisan saya. Mungkin bisa dibilang saya penggemar beberapa tulisannya. Atau saya hanya suka orangnya? Ah ya sudahlah. sebagai penutup saya kutipkan sedikit tulisannya.
Suatu Saat akan kau temui aku dalam ketelanjangan.
Tanpa suatu apa.
Dan kau, kuberikan dua pilihan : diam atau tinggalkan.

Dan pada akhirnya tulisan ini ditulis untuk melupakan apa yang sudah berjalan, bahkan melupakan bahwa tulisan ini sudah ditulis. Seperti kata sebuah film "we pass the time to forget how time passes"

intermezzo

lama saya tidak menulis, malas. Tapi nanti saya sudah berencana menulis lagi, jadi tunggu saja