Selasa, 04 November 2014

sesuatu soal tali temali

Mengapa kau ikat cintamu kuat-kuat? Bukannya kau bilang kau tak pernah ikut pelajaran tali-temali di sekolah dulu?

Mengapa kau ikat cintamu kuat-kuat? Bukannya kau bilang cintamu itu suka kebebasan? Suka bermain di pantai, belanja di pasar, telanjang di dapur, dan sesekali naik gunung?

Mengapa kau ikat cintamu kuat-kuat? Apa kau takut ia diambil orang? bukannya kau bilang cintamu tak ada yang menginginkan?

Mengapa kau ikat cintamu kuat-kuat? Bukannya kau bilang cinta yang terikat tak mampu berlari? Bukannya kau bilang cinta yang terikat itu perih? Bukannya kau bilang cinta yang terikat itu sakit? Bukannya kau bilang cinta yang terikat akan mati?

Bukannya kau bilang cinta yang terikat kuat itu sepi.

Senin, 03 November 2014

Suatu Sore di Taman



Sore hari sejuk sekali di taman itu, orang-orang berjalan, berbincang, dan berlari riang di bawah dahan pohon-pohon angsana yang rindang. Tanah basah menceritakan kisah tentang sebuah pohon tua yang tumbang ditiup angin dan dihempas hujan semalam. Sebuah bangku taman yang tergeletak rusak tak berdaya di pinggir trotoar adalah korban kejadian semalam. Penjaga taman memungut potongan bangku taman, sambil berharap tak ada lagi korban yang jatuh, karena itu merepotkan. Di sudut taman, seorang pria berbincang dengan seorang gadis berambut lurus, berwajah cantik, dan tingginya sedang. Sang pria terlihat bimbang, dan sang wanita terlihat bosan. Mereka sepertinya tidak sedang berbahagia sore itu.

"kenapa kau menghilang?" Tanya pria itu
"aku tak butuh penjagaanmu lagi, dan perlu kau tahu, aku memilih ini dengan kesadaran penuh, tidak seperti yang kau bayangkan."
"aku tidak bermaksud menjagamu, aku menghargai semua pilihanmu jika itu bagian dari kesadaranmu, tapi aku membutuhkanmu."
“untuk apa?” Wanita itu semakin menampakkan wajah bosannya.
“untuk membuatku ada.” Laki-laki itu berkata pelan sambil menatap dalam wanita didepannya
"kau akan terus ada meski tak bertemu denganku." perempuan itu mengeluarkan kata-kata terkahirnya hari itu. Sesaat kemudian ia pergi, menghilang ditelan pohon-pohon angsana, bangku taman, dan kesunyian lelakinya. 

Orang-orang terus berlari riang, pekerja taman masih mengeluh kerepotan, dan si pohon tua sudah di tempat pembuangan, tetapi si lelaki itu tetap diam, tak mengejar, tak memanggil, hanya berbalik lalu pulang. Dia tahu kisahnya dengan perempuan itu sudah habis.

Kaku




"berhentilah merokok" kata wanita itu pelan sambil membenahi rambutnya yang acak-acakan setelah pergumulan malam itu.
Diantara suara hujan bulan September,  mereka berbicara dalam bahasa yang tak semua orang tahu. Si lelaki bersuara seperti sapi, melenguh panjang, kadang tersendat sebentar lalu melenguh lagi. Sedangkan si wanita bersuara seperti anjing, menyalak-nyalak tak karuan, tak berhenti sepanjang malam. Semuanya berserakan, pakaian dan punting rokok, rambut dan keringat. Tubuh mereka berdempet basah, seperti tanah pada rumput, seperti air hujan pada atap.

"ahh. Apa pedulimu, aku menikmati asap rokokku, seperti aku menikmati mu dan setiap waktuku bersamamu" laki-laki itu menimpali sambil tersenyum tipis, kadang sesekali ia memainkan asap putih dari mulutnya, yang melayang pelan ke langit-langit, lalu hilang entah kemana.

Kau tahu, mereka berdua seperti pasangan serasi. Si Laki-laki adalah pria tampan dengan hidupan yang berkecukupan. Si Perempuan pun demikian, kau akan disarankan pergi ke dokter mata jika menyebut wanita itu tidak cantik. Dan malam itu mereka melepaskan semuanya. Hasrat, birahi, cinta, semua melebur menjadi sesuatu yang membuat mereka kelelahan di pagi yang sangat basah itu.

"ah kau tak akan pernah mendengarkan aku" kata perempuan itu sambil memandangi asap putih dari lelakinya yang keluar-masuk dari mulut, ke hidung, lalu ke mulut, lalu ke udara, lalu lagi-lagi hilang. Sepertinya ditelan cahaya lampu kamar dan udara pagi yang masuk dari sela-sela jendela dan lubang kunci.

laki-laki itu melirik sebentar ke perempuannya, tersenyum lagi. "kau tahu, saat pertama kali menatapmu, aku tak bisa berkata apa-apa. Kau begitu cantik, tetapi saat kau bicara semuanya berbeda. Kau seperti robot. Setiap kata yang kau lontarkan itu seperti sudah terpogram dalam kepalamu, dan yang kau keluarkan serupa surat-surat yang biasa aku terima, dingin dan tak bernyawa."

"kau akan tahu jika jadi aku" perempuan itu menjawab pelan, lalu menarik selimut untuk menutupi sebelah dadanya yang sedari tadi terbuka. “dingin” katanya lirih.

"jangan begitu, bukan kah ini sudah ke lima kalinya kita seperti ini. Jika seperti itu terus kau bisa membuatku tak bernafsu"

"ke enam kali, dan kau selalu bernafsu jika bersamaku. Kau tak bisa menghindari itu"

laki-laki itu tertawa singkat, mendengar wanitanya. Dia mematikan rokoknya dan membalikkan badan, menghadap wanitanya itu sambil menopang kepalanya dengan salah satu tangannya

"baiklah aku akui itu, tapi kau harus tahu bahwa sebuah percakapan bisa membuat pertemuan kita hangat dan berkesan"

"kau selalu berbicara seperti itu, setiap kita melakukan ini"

"apa aku salah? Percayalah padaku, hilangkan kata, 'sesuai janji', 'sudah siap', atau 'mari kita mulai', hilangkan kata-kata dingin itu maka kau, atau hubungan kita ini, akan dua, tiga kali lebih menggairahkan." Laki-laki itu kembali menatap langit-langit, lalu mengambil  rokonya lagi

"sudahlah, untuk apa kau mengaturku, kau saja tak bisa diatur."

Wanita itu bangkit dari tempat tidur, menutupi sebagian tubuhnya dengan selimut lalu pergi ke kamar mandi. Si lelaki menatap wanitanya, belum sempat  menyalakan rokoknya, dia bangkit menyusul wanitanya. Tapi wanita setengah telanjang itu keburu menutup pintu kamar mandi.  Si lelaki hanya berdiri di depan kamar mandi, sedikit berteriak diab erkata,

"jika kau ingin aku berhenti merokok, maka aku akan berhenti, jika kau ingin aku tak mengatur mu akan ku lakukan, tapi hilangkan kata-kata dingin mu itu."

Laki-laki itu lalu berpakaian, dan pergi meninggalkan wanitanya yang sedang mandi dan hotel yang masih pagi. Sebelum pergi, tak lupa, seperti enam pertemuan sebelumnya, lelaki itu meninggalkan beberapa lembar uang ratusan ribu di tempat tidur, kemudian kembali menemui istrinya tanpa sempat mandi dan membawa rokok tapi membawa beberapa mainan untuk anak laki-lakinya. Dia membeli di depan hotel tempatnya bermalam dengan wanita cantiknya. 

Beberapa bulan kemudian, si lelaki lebih sering bersama wanitanya yang cantik daripada istrinya. Mungkin saat itu musim hujan dan udara sangat dingin, atau mungkin juga karena istrinya telah pergi tanpa menginiggalkan pesan, hanya cemoohan tentang gundik pada anaknya. Hingga pada akhir tahun, si lelaki dan wanita cantik menikah. Anak mereka masih tak tau pesan ibunya, si lelaki sudah berhenti merokok, dan si wanita cantik sudah tak  pernah mengeluarkan kata 'sesuai janji', 'sudah siap', dan 'mari kita mulai', mereka berdua sepakat untuk menggantinya dengan 'aku mencintaimu', 'berbaringlah sayang', 'terima kasih', dan terkadang 'mari kita lakukan lagi sayang', dan si anak hanya diam jika sedang bersama ibu barunya. 

Jika ada yang bertanya padamu tentang kisah ini, ceritakan saja bagian dimana lelaki itu berhenti merokok dan menikahi wanitanya yang cantik, jangan ceritakan sisanya, karena ini adalah kisah yang ku inginkan berakhir bahagia. Seperti waktu anakku mendapat mainan di bulan September itu.