Mengapa kau ikat cintamu kuat-kuat? Bukannya kau bilang kau tak pernah ikut pelajaran tali-temali di sekolah dulu?
Mengapa kau ikat cintamu kuat-kuat? Bukannya kau bilang cintamu itu suka kebebasan? Suka bermain di pantai, belanja di pasar, telanjang di dapur, dan sesekali naik gunung?
Mengapa kau ikat cintamu kuat-kuat? Apa kau takut ia diambil orang? bukannya kau bilang cintamu tak ada yang menginginkan?
Mengapa kau ikat cintamu kuat-kuat? Bukannya kau bilang cinta yang terikat tak mampu berlari? Bukannya kau bilang cinta yang terikat itu perih? Bukannya kau bilang cinta yang terikat itu sakit? Bukannya kau bilang cinta yang terikat akan mati?
Bukannya kau bilang cinta yang terikat kuat itu sepi.
Selasa, 04 November 2014
Senin, 03 November 2014
Suatu Sore di Taman
Sore hari sejuk sekali di taman itu, orang-orang berjalan,
berbincang, dan berlari riang di bawah dahan pohon-pohon angsana yang rindang.
Tanah basah menceritakan kisah tentang sebuah pohon tua yang tumbang ditiup angin
dan dihempas hujan semalam. Sebuah bangku taman yang tergeletak rusak tak berdaya
di pinggir trotoar adalah korban kejadian semalam. Penjaga taman memungut potongan
bangku taman, sambil berharap tak ada lagi korban yang jatuh, karena itu merepotkan.
Di sudut taman, seorang pria berbincang dengan seorang gadis berambut lurus, berwajah
cantik, dan tingginya sedang. Sang pria terlihat bimbang, dan sang wanita terlihat
bosan. Mereka sepertinya tidak sedang berbahagia sore itu.
"kenapa kau menghilang?" Tanya pria itu
"aku tak butuh penjagaanmu lagi, dan perlu kau tahu, aku memilih
ini dengan kesadaran penuh, tidak seperti yang kau bayangkan."
"aku tidak bermaksud menjagamu, aku menghargai semua pilihanmu
jika itu bagian dari kesadaranmu, tapi aku membutuhkanmu."
“untuk apa?” Wanita itu semakin menampakkan wajah bosannya.
“untuk membuatku ada.” Laki-laki itu berkata pelan sambil menatap
dalam wanita didepannya
"kau akan terus ada meski tak bertemu denganku." perempuan itu mengeluarkan kata-kata
terkahirnya hari itu. Sesaat kemudian ia pergi, menghilang ditelan pohon-pohon angsana,
bangku taman, dan kesunyian lelakinya.
Orang-orang terus berlari riang,
pekerja taman masih mengeluh kerepotan, dan si pohon tua sudah di tempat pembuangan,
tetapi si lelaki itu tetap diam, tak mengejar, tak memanggil, hanya berbalik lalu
pulang. Dia tahu kisahnya dengan perempuan itu sudah habis.
Kaku
"berhentilah merokok"
kata wanita itu pelan sambil membenahi rambutnya yang acak-acakan setelah pergumulan malam itu.
Diantara suara hujan bulan September, mereka berbicara
dalam bahasa yang tak semua orang tahu. Si lelaki bersuara seperti sapi,
melenguh panjang, kadang tersendat sebentar lalu melenguh lagi. Sedangkan si wanita
bersuara seperti anjing, menyalak-nyalak tak karuan, tak berhenti sepanjang malam.
Semuanya berserakan, pakaian dan punting rokok, rambut dan keringat. Tubuh mereka
berdempet basah, seperti tanah pada rumput, seperti air hujan pada atap.
"ahh. Apa pedulimu, aku menikmati
asap rokokku, seperti aku menikmati mu dan setiap waktuku bersamamu"
laki-laki itu menimpali sambil tersenyum tipis, kadang sesekali ia memainkan asap
putih dari mulutnya, yang melayang pelan ke langit-langit, lalu hilang entah kemana.
Kau tahu, mereka berdua seperti
pasangan serasi. Si Laki-laki adalah pria tampan dengan hidupan yang berkecukupan.
Si Perempuan pun demikian, kau akan disarankan pergi ke dokter mata jika menyebut
wanita itu tidak cantik. Dan malam itu mereka melepaskan semuanya. Hasrat,
birahi, cinta, semua melebur menjadi sesuatu yang membuat mereka kelelahan di
pagi yang sangat basah itu.
"ah kau tak akan pernah mendengarkan
aku" kata perempuan itu sambil memandangi asap putih dari lelakinya yang keluar-masuk
dari mulut, ke hidung, lalu ke mulut, lalu ke udara, lalu lagi-lagi hilang.
Sepertinya ditelan cahaya lampu kamar dan udara pagi yang masuk dari sela-sela jendela
dan lubang kunci.
laki-laki itu melirik sebentar ke
perempuannya, tersenyum lagi. "kau tahu, saat pertama kali menatapmu, aku tak
bisa berkata apa-apa. Kau begitu cantik, tetapi saat kau bicara semuanya
berbeda. Kau seperti robot. Setiap kata yang kau lontarkan itu seperti sudah terpogram
dalam kepalamu, dan yang kau keluarkan serupa surat-surat yang biasa aku terima,
dingin dan tak bernyawa."
"kau akan tahu jika jadi aku"
perempuan itu menjawab pelan, lalu menarik selimut untuk menutupi sebelah dadanya
yang sedari tadi terbuka. “dingin” katanya lirih.
"jangan begitu, bukan kah ini
sudah ke lima kalinya kita seperti ini. Jika seperti itu terus kau bisa membuatku
tak bernafsu"
"ke enam kali, dan kau selalu
bernafsu jika bersamaku. Kau tak bisa menghindari itu"
laki-laki itu tertawa singkat, mendengar
wanitanya. Dia mematikan rokoknya dan membalikkan badan, menghadap wanitanya itu
sambil menopang kepalanya dengan salah satu tangannya
"baiklah aku akui itu,
tapi kau harus tahu bahwa sebuah percakapan bisa membuat pertemuan kita hangat dan
berkesan"
"kau selalu berbicara seperti
itu, setiap kita melakukan ini"
"apa aku salah? Percayalah
padaku, hilangkan kata, 'sesuai janji', 'sudah siap', atau 'mari kita mulai',
hilangkan kata-kata dingin itu maka kau, atau hubungan kita ini, akan dua, tiga
kali lebih menggairahkan." Laki-laki itu kembali menatap langit-langit,
lalu mengambil rokonya lagi
"sudahlah, untuk apa kau mengaturku,
kau saja tak bisa diatur."
Wanita itu bangkit dari tempat tidur,
menutupi sebagian tubuhnya dengan selimut lalu pergi ke kamar mandi. Si lelaki menatap
wanitanya, belum sempat menyalakan rokoknya,
dia bangkit menyusul wanitanya. Tapi wanita setengah telanjang itu keburu menutup
pintu kamar mandi. Si lelaki hanya berdiri
di depan kamar mandi, sedikit berteriak diab erkata,
"jika kau ingin aku berhenti
merokok, maka aku akan berhenti, jika kau ingin aku tak mengatur mu akan ku lakukan,
tapi hilangkan kata-kata dingin mu itu."
Laki-laki itu
lalu berpakaian, dan pergi meninggalkan wanitanya yang sedang mandi dan hotel
yang masih pagi. Sebelum pergi, tak lupa, seperti enam pertemuan sebelumnya, lelaki
itu meninggalkan beberapa lembar uang ratusan ribu di tempat tidur, kemudian kembali
menemui istrinya tanpa sempat mandi dan membawa rokok tapi membawa beberapa mainan
untuk anak laki-lakinya. Dia membeli di depan hotel tempatnya bermalam dengan
wanita cantiknya.
Beberapa bulan kemudian, si lelaki lebih sering bersama wanitanya yang cantik daripada istrinya. Mungkin saat itu musim hujan dan udara sangat dingin, atau mungkin juga karena istrinya telah pergi tanpa menginiggalkan pesan, hanya cemoohan tentang gundik pada anaknya. Hingga pada akhir tahun, si lelaki dan wanita cantik menikah. Anak mereka masih tak tau pesan ibunya, si lelaki sudah berhenti merokok,
dan si wanita cantik sudah tak pernah mengeluarkan
kata 'sesuai janji', 'sudah siap', dan 'mari kita mulai', mereka berdua sepakat
untuk menggantinya dengan 'aku mencintaimu', 'berbaringlah sayang', 'terima
kasih', dan terkadang 'mari kita lakukan lagi sayang', dan si anak hanya diam jika sedang bersama ibu barunya.
Jika ada
yang bertanya padamu tentang kisah ini, ceritakan saja bagian dimana lelaki itu
berhenti merokok dan menikahi wanitanya yang cantik, jangan ceritakan sisanya,
karena ini adalah kisah yang ku inginkan berakhir bahagia. Seperti waktu anakku
mendapat mainan di bulan September itu.
Langganan:
Postingan (Atom)