Dalam setiap pertempuran selalu ada yang menang dan selalu ada yang kalah, dan masing-masing didalamnya tersimpan makna. Makna yang hanya bisa diterima dan dimaknai oleh yang mengalami. Si Kalah akan menerima makna dan memaknai kekalahannya, dan Si Menang akan menerima makna dan memaknai kemenangannya. Namun, dalam beberapa kejadian, atau banyak sekali kejadian, seringkali Si Menang tidak hanya memaknai kemenangannya, tetapi juga akan memaknai kekalahan Si Kalah dan demikian pula sebaliknya--saya namakan ini pemaknaan silang. Fenomena pemaknaan silang ini, menurut saya, adalah sebuah kekeliruan yang besar, karena memaknai sesuatu yang tidak kita alami akan menggiring kita pada sesat makna, seperti kita menilai sebuah pensil dari pengalaman kita melihat sebuah ballpoint atau buku gambar. Dalam konteks kejadian, kita memaknai makan setelah kita buang air (contoh-contoh ini sebenarnya juga menyesatkan).
Kembali ke Si Menang (SM) dan Si Kalah (SK). Ketika SM memaknai peristiwa yang dialami SK, akan memicu pemaknaan dimana SK akan menilai kekalahan SM dari kemenangannya. Dengan kata lain, akan muncul penafsiran seperti, "dia kalah karena dia lalai untuk...", "dia kalah karena dulu dia...", dan yang paling populer sekarang adalah "dia gagal karena dia mewakili golongan tertentu". Dengan kata lain pemaknaan yang dilakukan adalah perbandingan atas keberhasilannya, atau apa yang kita lakukan dan dia yang tidak lakukan. Coba cermati, penafsiran pertama sebenarnya pembanding atas dengan, "kita menang karena kita berhasil untuk...", kedua sebenarnya "kita menang karena kita dulu...", dan terakhir "kita menang karena kita tidak mewakili golongan terntentu". Pemaknaan sesat ini berlaku pula sebaliknya.
Agar tulisan ini lebih bisa dimengerti, mari kita arahkan denganbeberapa pertanyaan berikut,
pertama, mengapa pemaknaan silang bisa memicu sesat makna?
Pemaknaan silang bisa memicu sesat makna karena pertimbangan yang dilakukan untuk memaknai sebuah kejadian hanya dilakukan dari satu sisi, mengapa? karena sisi yang lain belum pernah dialami. Sangat tidak mungkin kita mempertimbangkan membeli jeruk jika kita tidak pernah melihat dan mengetahui jeruk. Dalam kasus menang dan kalah, SM tidak pernah mengalami kondisi yang dialami SK. Mungkin memang, kasus menang kalah memang sering terjadi, tetapi keadaan dimana kita menang dan kalah tidak pernah sama. Jadi sangat mustahil untuk secara penuh mengetahui mengapa dia menang dan mengapa dia kalah di suatu waktu.
Kedua, bagaimana pemaknaan seharusnya dilakukan?
Pemaknaan seharusny dilakukan berdasarkan kejadian yang sudah dialami oleh diri sendiri. Dengan kata lain, sebelum melakukan pemaknaan terhadap orang lain yang harus dipertimbangkan lebih dahulu apakah kita pernah mengalami kejadian tersebut dalam keadaan yang sama persis dengan keadaan yang dialami oleh orang itu. Jika kembali dengan kejadian menang dan kalah, apakah SM sebelumnya pernah mengalami kekalahan dengan posisi seperti SK saat dia kalah saat ini. Jika belum, jauhi pemaknaan atasnya.
Ketiga, apakah ini berarti pemaknaan atas orang lain dan kejadian yang dia alami tidak boleh dilakukan?
Tidak, pemaknaan atas orang lain dan kejadian atasnya boleh dilakukan, tapi tetap pertimbangkan apakah pemaknaan yang akan (atau sudah) dilakukan telah mempertimbangkan sisi lain, atau telah memenuhi jawaban dari pertanyaan kedua. Jika tidak, alangkah lebih baik tidak dilakukan.
Dari semua penjabaran diatas, kita dapat menyimpulkan bahwa pemaknaan silang itu jelek. Dan berbagai istilah yang saya perkenalkan diatas hanya untuk kejadian SM dan SK. untuk kejadian lain belum saya coba dan pikirkan. Jika anda ingin melakukannya, silahkan.
Minggu, 22 Desember 2013
Untuk Karya yang Tidak Lagi (bisa) Dibaca
Manusia lahir, menjadi batita kemudian merangkak, menjadi balita kemudian berjalan, menjadi remaja kemudian berlari. Dalam setiap tahap pertumbuhan ada perkembangan, dan dalam setiap perkembangan mengisyaratkan adanya perubahan. Tapi perubahan yang terjadi tidak mengaharuskan dan bahkan tidak mungkin adanya penghapusan atau penghilangan perkembangan yang sudah dijalani. Mudahnya, balita yang sudah bisa berjalan tidak mungkin kehilangan kemampuannya untuk merangkak dan tidak mungkin menghilangkan (sengaja) kemampuannya untuk merangkak, remaja yang sudah bisa berlari, pun demikian. Dia tidak mungkin kehilangan dan menghilangkan kemampuannya untuk berjalan dan merangkak. Meskipun dalam benaknya pasti memperhitungkan kemampuannya untuk berlari jika berlari dan berjalan sama-sama diperlukan untuk mengejar sesuatu. Dari sini dapat disimpulkan,tiga hal penting: (1) tumbuh mengisyratkan pertambahan pada sesuatu yang bisa dihitung dan
diperkirakan, sedangkan berkembang adalah pertambahan sesuatu yang tidak
dapat dihitung secara matematis, abstrak, tetapi bisa dilihat dan dirasakan, (2) manusia akan tumbuh dan secara bersamaan dia akan berkembang dan mustahil dia berkembang tanpa tumbuh, seperti bayi yang baru tumbuh hingga usia 2 tahun kemudian memaksa berlari, (3) dan, mustahil untuk orang yang berusaha menghilangkan dan kehilangan hasil dari dia tumbuh dan berkembang, kecuali orang itu kecelakaan lalu lumpuh atau lupa ingatan.
Dari metafora manusia itu, mari kita ubah pembahasan yang menarik ini pada kapasitas keilmuan manusia. Untuk membuktikan dua hal penting dari tiga hal penting tersebut dalam kapasitas keilmuan manusia mari kita contohkan dengan sesuatu yang berhubungan dengan kapsitas diri manusia. Buku misalnya, semakin banyak buku yang dibaca maka dapat dikatakan dia sedang dalam proses pertumbuhan. Dalam proses tumbuh ini manusia akan berkembang, semakin banyak buku yang dibaca maka semakin banyak ilmu, semakin banyak ilmu semakin tinggi kadar keilmuan seseorang, dan mustahil bagi orang yang sedikit membaca atau tidak bisa membaca dikatakan berilmu tinggi. Selain buku adalah pengalaman, manusia berkembang dengan pengalaman (disini saya menghindari premis "pengalaman bertambah dengan membaca buku" atau "pengalaman membaca buku"). Pengalaman adalah situasi yang pernah dihadapi oleh seorang individu, biasanya pengalaman berbanding lurus dengan usia. Alasannya, orang berusia 22 tahun lebih lama hidup dibanding orang dengan usia 19 tahun, dan orang yang berusia 19 tahun peluangnya, untuk mencapai usia 22 tahun, sama besarnya dengan peluang orang berusia 22 tahun untuk mati. Gampangnya, tidak ada yang bisa memberi kepastian apakah orang berusia 19 tahun bisa hidup sampai berusia 22 tahun. Dengan berdasar pada asumsi tersebut, dapat ditarik kesimpulan orang dengan usia 19 tahun tidak lebih berpengalaman daripada orang berusia 22 tahun karena orang berusia 22 tahun telah menjalani masa tumbuh 3 tahun lebih lama daripada orang berusia 19 tahun, dan dengan demikian ia memiliki perkembangan 3 tahun lebih banyak.
Hal yang penting ketiga, yang sebenarnya berusaha saya jadikan bahan pembahasan utama, adalah kemustahilan seseorang untuk menghilangkan hasil dari tumbuh dan berkembang. Hasil dari orang yang sudah tumbuh dan berkembang adalah karya. Karya wujudnya bermacam-macam, tulisan, lukisan, pahatan, tindakan, pemikiran (biasanya dituangkan dalam tulisan), dan dalam pembicaraan yang lebih serius, karya-karya tadi biasanya menjadi bukti dari sebuah peradaban. Titik dimana manusia menghasilkan karya adalah titik pembuktian bahwa manusia atau individu telah selesai di salah satu tahap tumbuh dan berkembangnya. Kemustahilan terjadi ketika individu tersebut berusaha menghilangkan karyanya dengan menghapus tulisannya, membakar lukisannya, atau menyesali perbuatannya, biasanya dengan alasan tidak puas. Kenyataannya adalah manusia akan terus tumbuh dan berkembang, itu berarti manusia akan terus menambah kapasitas keilmuannya, dan adalah wajar ketika ada ketidakpuasaan atas karya yang tidak lain adalah hasil dari proses tumbuh dan berkembang. Namun, penilaian dari sebuah karya harusnya dilakukan tidak hanya atau lebih tepatnya tidak mungkin oleh diri sendiri, tetapi oleh orang lain. Mengapa tidak mungkin? karena manusia akan terus tumbuh dan berkembang dan akan terus tidak puas, dan ketidakpuasan ini seringkali bukan menjadi bahan untuk terus tumbuh dan berkembang tetapi menjadi bahan untuk meratapi dan merendahkan diri sendiri.
Dalam lingkup tulisan, di era modern ini, dimana orang telah meninggalkan batu tulis dan daun lontar sebagai media penulisan dan beralih pada blog dan berbagai media elektronik lainnya, hasil karya tidak lagi dibakar, tetapi dihapus atau mungkin disembunyikan. Saya pribadi adalah orang yang sering menyesalkan hal itu. Karena dengan menghapus atau menyembunyikan tulisan, maka penilaian hanya akan didasarkan pada diri sendiri, dan menurut saya ini tidak sehat dan memicu seperti yang saya jelaskan sebelumnya. Selain itu, menghapus sebuah tulisan atau menyembunyikannya membuat kita menghalangi orang lain untuk tumbuh dan berkembang karena seolah kita membatasi orang tersebut untuk belajar dari pengalaman dan buku yang sudah kita baca. Jadi bukankah lebih baik membiarkan sebuah karya itu tetap ada dan biarkan orang lain menjadi penilai sekaligus murid bagi tahap yang sudah kita lalui ?
Dari metafora manusia itu, mari kita ubah pembahasan yang menarik ini pada kapasitas keilmuan manusia. Untuk membuktikan dua hal penting dari tiga hal penting tersebut dalam kapasitas keilmuan manusia mari kita contohkan dengan sesuatu yang berhubungan dengan kapsitas diri manusia. Buku misalnya, semakin banyak buku yang dibaca maka dapat dikatakan dia sedang dalam proses pertumbuhan. Dalam proses tumbuh ini manusia akan berkembang, semakin banyak buku yang dibaca maka semakin banyak ilmu, semakin banyak ilmu semakin tinggi kadar keilmuan seseorang, dan mustahil bagi orang yang sedikit membaca atau tidak bisa membaca dikatakan berilmu tinggi. Selain buku adalah pengalaman, manusia berkembang dengan pengalaman (disini saya menghindari premis "pengalaman bertambah dengan membaca buku" atau "pengalaman membaca buku"). Pengalaman adalah situasi yang pernah dihadapi oleh seorang individu, biasanya pengalaman berbanding lurus dengan usia. Alasannya, orang berusia 22 tahun lebih lama hidup dibanding orang dengan usia 19 tahun, dan orang yang berusia 19 tahun peluangnya, untuk mencapai usia 22 tahun, sama besarnya dengan peluang orang berusia 22 tahun untuk mati. Gampangnya, tidak ada yang bisa memberi kepastian apakah orang berusia 19 tahun bisa hidup sampai berusia 22 tahun. Dengan berdasar pada asumsi tersebut, dapat ditarik kesimpulan orang dengan usia 19 tahun tidak lebih berpengalaman daripada orang berusia 22 tahun karena orang berusia 22 tahun telah menjalani masa tumbuh 3 tahun lebih lama daripada orang berusia 19 tahun, dan dengan demikian ia memiliki perkembangan 3 tahun lebih banyak.
Hal yang penting ketiga, yang sebenarnya berusaha saya jadikan bahan pembahasan utama, adalah kemustahilan seseorang untuk menghilangkan hasil dari tumbuh dan berkembang. Hasil dari orang yang sudah tumbuh dan berkembang adalah karya. Karya wujudnya bermacam-macam, tulisan, lukisan, pahatan, tindakan, pemikiran (biasanya dituangkan dalam tulisan), dan dalam pembicaraan yang lebih serius, karya-karya tadi biasanya menjadi bukti dari sebuah peradaban. Titik dimana manusia menghasilkan karya adalah titik pembuktian bahwa manusia atau individu telah selesai di salah satu tahap tumbuh dan berkembangnya. Kemustahilan terjadi ketika individu tersebut berusaha menghilangkan karyanya dengan menghapus tulisannya, membakar lukisannya, atau menyesali perbuatannya, biasanya dengan alasan tidak puas. Kenyataannya adalah manusia akan terus tumbuh dan berkembang, itu berarti manusia akan terus menambah kapasitas keilmuannya, dan adalah wajar ketika ada ketidakpuasaan atas karya yang tidak lain adalah hasil dari proses tumbuh dan berkembang. Namun, penilaian dari sebuah karya harusnya dilakukan tidak hanya atau lebih tepatnya tidak mungkin oleh diri sendiri, tetapi oleh orang lain. Mengapa tidak mungkin? karena manusia akan terus tumbuh dan berkembang dan akan terus tidak puas, dan ketidakpuasan ini seringkali bukan menjadi bahan untuk terus tumbuh dan berkembang tetapi menjadi bahan untuk meratapi dan merendahkan diri sendiri.
Dalam lingkup tulisan, di era modern ini, dimana orang telah meninggalkan batu tulis dan daun lontar sebagai media penulisan dan beralih pada blog dan berbagai media elektronik lainnya, hasil karya tidak lagi dibakar, tetapi dihapus atau mungkin disembunyikan. Saya pribadi adalah orang yang sering menyesalkan hal itu. Karena dengan menghapus atau menyembunyikan tulisan, maka penilaian hanya akan didasarkan pada diri sendiri, dan menurut saya ini tidak sehat dan memicu seperti yang saya jelaskan sebelumnya. Selain itu, menghapus sebuah tulisan atau menyembunyikannya membuat kita menghalangi orang lain untuk tumbuh dan berkembang karena seolah kita membatasi orang tersebut untuk belajar dari pengalaman dan buku yang sudah kita baca. Jadi bukankah lebih baik membiarkan sebuah karya itu tetap ada dan biarkan orang lain menjadi penilai sekaligus murid bagi tahap yang sudah kita lalui ?
Minggu, 15 Desember 2013
Panduan Memilih untuk Pemula
Politik
kampus Universitas Gadjah Mada sedang bergeliat. Pemilihan Raya Mahasiswa
(Pemira) sedang berjalan. Banyak poster, baliho, spanduk bertebaran
dimana-mana; di pertigaan, di perempatan, di bundaran, di setiap sudut kampus
ada poster yang memajang wajah-wajah calon senat dan presiden mahasiswa UGM.
Wajah-wajah tersenyum dengan jargon masing-masing, ada yang bilang ingin
mengembalikan kedaulatan kampus kerakyatan, ada yang bilang sebagai ajang
berkreasi, ada juga yang bilang mereka anti golongan tertentu. Intinya
calon-calon itu ingin dipilih dan ditempatkan sebagai perwakilan mahasiswa atau
lebih dikenal dengan nama senat mahasiswa.
UGM
memang salah satu universitas yang mengadaptasi bentuk pemilihan umum seperti
sebuah negara; ada partai, calon senat (DPR), dan presiden. Sistem ini dalam
beberapa hal mampu mengurangi masuknya kepentingan-kepentingan dan dominasi
kelompok pergerakan tertentu (HMI, PMII, GMNI, dll) kedalam lembaga tertinggi
mahasiswa, BEM KM UGM, sehingga stabilitas himpunan mahasiswa dapat terjaga
hingga akhir periode. Namun, disisi lain, sistem seperti ini tidak mampu
memberikan jaminan kualitas yang cukup baik pada calon-calon senat yang
nantinya terpilih. Sehingga muncul pertanyaan terkait indikator apa yang dapat
digunakan untuk menilai sebuah partai kampus dapat dipilih dan kualitas
calonnya dapat dipercaya. Menurut saya, setidaknya ada tiga indikator untuk
melihat hal tersebut:
1. Sistem
rekruitmen. Mari kita ibaratkan semua partai kampus itu berdiri untuk tujuan
yang luhur, yaitu menegakkan tri dharma perguruan tinggi. Maka bukankah penting
bagi kita melihat siapa saja yang akan menggerakkan roda-roda partai ini agar
berjalan sesuai dengan tujuan luhur itu? Bagaimana dia bisa menjadi perwakilan
kita di sebuah partai? Kemudian bayangkan, secara tiba-tiba dan sekejab mata
muncul orang yang mungkin dipilih secara acak dengan senyum asing dan tidak
dikenal datang sambil berkata, “saya akan mewakili anda sebagai kepanjangan
lidah anda nanti.” Apa kita akan percaya?
2. Eksistensi
partai. Mari sekali lagi ibaratkan semua partai kampus itu berdiri untuk tujuan
yang luhur, yaitu menegakkan tri dharma perguruan tinggi. Kita ibaratkan juga,
calon-calon hasil undian tadi harus kita pilih. Bukankah peran partai dalam
politik kampus dan dinamika kehidupan kemahasiswaan pada tahun-tahun yang lalu
menjadi sangat penting. Lalu bayangkan,
partai-partai dengan nama, jargon yang aneh dan tidak meyakinkan datang hanya
setiap tahun sekali lalu bilang, “pilih kami, karena kami ingin mengembalikan
kampus kerakyatan, kami paling disayang mama, kami paling dominan, kami paling
sangar, kami paling bla, bla, bla,” apa kita akan percaya tahi kucing macam
itu?
3. Struktur
organisasi partai. Mari sekali lagi dan lagi kita ibaratkan semua partai kampus
itu berdiri untuk tujuan yang luhur, yaitu menegakkan tri dharma perguruan
tinggi—maaf jika anda mulai muak dengan ini. Bukankah menjadi penting untuk
melihat siapa yang bertanggung jawab nanti, siapa yang dapat memberikan
pertanggungjawaban nanti ketika amanat diselewengkan, atau paling tidak siapa
yang bisa disalahkan dan dijelek-jelekkan nanti ketika partai itu salah
langkah. Kemudian bayangkan ketika kita sangat butuh penjelasan dari partai, yang
ada orang-orang dengan senyum menjijikkan dan tidak dikenal tadi, datang sambil
berkata lagi, “saya hanya ikut-ikutan.”
Pada
titik ini mari kita simpulkan bahwa partai yang tidak memenuhi tiga indikator
ini secara benar adalah partai abal-abal yang hanya ingin haus kekuasaan dan
calonnya adalah calon yang haus akan riwayat organisasi di CV (buat kerja
nanti). Sedangkan partai yang mampu membangun sistem rekruitmen yang baik,
struktur organisasi yang jelas, dan kemunculan partainya tidak hanya saat
pemira adalah partai yang kompeten untuk dipilih. Pertanyaannya kembali pada
anda. Apakah anda sudah yakin partai atau calon yang anda dukung dan akan anda
pilih sudah menjalankan tiga indikator tadi? Jika belum, saya tidak menyarankan
anda untuk tidak memilih atau ikut-ikutan memilih karena diajak teman, sahabat,
dan handai taulan. Carilah informasi sebanyak-banyaknya terkait partai kampus
dan yakinkan diri anda.
Namun,
tiga indikator tadi bukan merupakan hal yang mutlak, jika ada pertimbangan
lain, seperti kedekatan dengan calon senat atau presma atau mengetahui derajat
keilmuan dan intelektualitas calon senat, maka kombinasikan tiga indikator ini
dengan pertimbangan tadi, atau gunakan salah satunya. Sekali lagi, sangat tidak
disarankan untuk tidak memilih pada Pemira nanti. Sebagi warga universitas yang
baik mari kita sukseskan Pemira tahun ini dengan datang ke tempat pemilihan
umum, meskipun dengan menyobek kertas suara atau meludahi lalu melipatnya lagi
(sangat tidak disarankan).
Bagi
anda yang merasa calon senat dan tersakiti hatinya dengan tulisan ini dan
merasa anda cukup dikenal dan berkualitas, silahkan tulis balasan anda. Mari
budayakan membalas kritik dengan tulisan bukan dengan cemoohan. Terima Kasih.
Rabu, 06 November 2013
surat
Selamat malam kawan,
Apa kabarmu? Semoga baik-baik saja.
Mungkin kau bertanya
ada perihal apa surat ini aku tulis dan aku tujukan padamu. Aku hanya
merindukanmu kawan. Aku tak mau menyebutmu kawan lama, karena waktu menjadi hal
yang tak patut diingat ketika kita bersama. Karena kita akan selalu menjadi
kawan tanpa perhitungan detik, menit, jam, hari, bulan, tahun yang sudah kita
lewati. Aku rasa cukuplah berbasa-basi, karena aku tau kau bukan penyuka hal
yang remeh temeh dan berbelit-belit. Harus jujur aku katakana, aku hanya ingin
bercerita bersamamu kawan. Mengingat-ingat lagi segala hal yang sudah kita
lakukan, sesuatu yang kita bangkitkan dan sesuatu yang kita bangun
Apa kau ingat menara
yang pernah kita bangun dahulu? Menara yang kita letakkan meriam diatasnya,
lalu kita tembakkan meriam itu kearah mereka yang angkuh? Menara itu sudah
rapuh kawan, meriamnya berkarat, atapnya hilang tertiup angin waktu hujan
kemarin. Sayang sekali. Apa kau ingat surau yang kita bangun bersama dahulu?
Surau tempat kita membangun khayalan tentang apa itu yang sempurna? Surau itu hampir
rubuh kawan, lagi-lagi terkena angin, yang tersisa hanya ruangan kosong dengan kayu-kayu
patah, paku-paku yang keluar, dan tiang-tiang yang berlubang. Satu lagi, apa
kau ingat tentang perahu yang kita buat dari amarah dan resah? Perahu yang
ingin kita gunakan berlayar ke pulau seberang? Perahu itu masih ada kawan,
tidak karam, hanya berlubang disana-sini, tapi sayang tak bisa ditambal.
Mungkin karam jika terkena gelombang pasang. Aku jadi bertanya-tanya apa kita
masih bisa ke pulau seberang?
Sudah lama sekali aku
tak melihatmu, karena kesibukan kita. Beberapa kali aku mendengarmu sedang bersama seseorang. Aku juga
mendengar kau sedang membangun jembatan untuk mengurangi jarak antara kita, bersamanya.
Tapi aku tak melihat jembatan, kau, atau dia disana, yang kulihat hanya jurang
dalam yang belum selesai digali. Jurang dalam yang justru menegaskan jarak
antara kita kawan. Aku ingin bertanya padamu tentang jurang itu, tetapi jarak
sudah terbentuk, dan pertanyaanku tak pernah sampai karena jarak telah menghabisi
pertanyaan-pertanyaan itu bahkan sebelum mencapaimu. Namun, aku tak pernah meragukanmu
kawan. Saat ini aku sedang berusaha membangun logika tentang jembatanmu yang
membutuhkan jurang agar jembatan itu berguna. Karena itu, aku masih berharap
banyak padamu kawan. Selesaikanlah jurang dalam itu, tapi jangan terlalu dalam,
nanti kau dan dia tak bisa kembali dan membangun jembatan itu.
Salam hangat untukmu,
kawanku (semua) yang sedang dimabuk asmara.
Senin, 21 Oktober 2013
pagi
saya takut nanti menjadi orang yang selalu ingin sendiri, merasa benar sendiri, tidak ingin dicampuri.
saya takut nanti menjadi orang yang pembenci, suka mencaci, tak tau diri
saya takut nanti mencemooh orang-orang yang peduli dengan kata "urusi urusan dirimu sendiri"
sudah itu saja.
saya takut nanti menjadi orang yang pembenci, suka mencaci, tak tau diri
saya takut nanti mencemooh orang-orang yang peduli dengan kata "urusi urusan dirimu sendiri"
sudah itu saja.
Jumat, 18 Oktober 2013
Pintu Kaca
Setiap
manusia pasti punya teman, pasti butuh teman, dan pasti akan (merasa)
kehilangan teman. Dan teman adalah bagian yang tidak bisa dipisahkan dalam
hubungan antara sesame manusia. Teman baik, teman jahat, teman lama, teman
baru, teman jauh, teman dekat, dan semua penggolongan tentang teman juga
menjadi bagian penting dalam membangun sebuah hubungan pertemanan itu. Jika
menggunakan teori David Easton, teman itu adalah input tapi juga output dan
bahkan mungkin adlah sistem yang mengolah input menjadi input. Mungkin ini njelimet dan ruwet, tapi yang berusaha saya sampaikan adalah hubungan
pertemanan adalah sesuatu yang rumit. Tapi, beberapa kejadian dalam hubungan
pertemanan saya akhir-akhir ini membuat saya memiliki metafora dalam
menggambarkan ke-njelimet-an hubungan
pertemanan.
Baiklah,.
Hubungan
pertemanan itu ibaratkan pintu kaca. Pintu kaca itu tebal, kokoh dan membuat kita
lupa bahwa dia tetap kaca yang mudah retak, pecah, dan hancur. Berbagai
benturan yang datang menguji pintu kaca akan mengikis keteguhan pintu kaca
hingga dia pecah. Dan kaca yang pecah bukan lagi benda halus bersinar, tapi
serpihan-serpihan beling yang tajam yang mudah melukai siapa saja. Seperti
kebencian yang muncul karena sebuah kesalahan yang mungkin tidak
disadari. Memang selalu ada maaf yang diucapkan dan selalu ada maaf yang
diterima. Tapi maaf ibarat perekat serpihan yang tidak akan mampu menemukan serpihan
yang hilang, menutupi retakan-retakan yang nampak, dan mengembalikan keadaan
yang pasti tidak akan seperti semula.
Tetapi,
pintu kaca yang pernah pecah dan direkatkan akan tetap berfungsi lagi sebagai
pintu kaca, kembali terlihat kokoh, terlihat kuat, terlihat tegar, tapi bekas-bekas
yang tampak dan sisa-sisa serpihan tajam di lantai menjadi pengingat bagi siapa yang
akan masuk dan “menguji” pintu kaca
itu.
Semoga
setiap masalah menjadi proses pendewasaan bagi kita semua
Amin.
Minggu, 29 September 2013
Kasus Bukan Pengalaman Pribadi
Sudah lama sekali saya tidak menulis di blog ini. Untung saja ini bukan facebook, yang jika di tinggal beberapa hari akan banyak orang berjualan di halaman profil. Tidak adanya jaringan internet dan leptop bercampur jadi satu, kemudian menciptakan situasi yang saya namakan, "kekosongan tiada tara". Tetapi perlu diingat bahwa ini bukan salah negara yang tidak bisa menyediakan akses informasi pada rakyatnya. Ini harus di tekankan, karena saya tidak mau tulisan ini disalahgunakan orang-orang yang merasa bertanggung jawab mengurusi keluhan rakyat agar didengar oleh pemerintah. ehh.. baiklah kita lanjutkan
Kekosongan yang tiada tara ini bukan keluhan, bukan juga rasa syukur, tapi lebih kepada ekspresi dari perasaan yang tidak bisa di gambarkan #weits. Manusia--menurut saya--tidak bisa hidup tanpa informasi, karena manusia selalu ingin tahu, istilah kerennya kepo. Meskipun beberapa anak gaul ibu kota sering membedakan istilah kepo dan perasaan ingin tahu manusia, tapi saya rasa kata kepo bisa digunakan dalam masalah ini. Jadi keterbatasan akses yang saya miliki sedikit-banyak menghambat saya untuk mencari informasi terkini, entah tentang transfer pemain bola, berita mancanegara, atau teman yang sedang menjalin cinta secara tidak terduga. Di sisi lain, keterbatasan membuat saya menjadi lebih tenang. Otak dan pikiran saya tidak di ributkan dengan masalah statusisasi hubungan si goyang itik, hebohnya goyang bukak sitik, atau update terbaru film titik-titik-titik (sensor).
Tetapi untunglah informasi tidak hanya di sebarkan lewat media sosial atau internet, ada koran, majalah, buku, dan semua benda-benda dari kertas yang sudah dianggap tidak praktis lagi. Keberadaan benda-benda itu sangat membantu untuk memuaskan perasaan ingin tahu saya. Selain itu, pemanfaatan koran dan majalah dalam upaya memenuhi kebutuhan informasi juga sangat membantu saya dalam menyaring informasi.
Mengapa bisa demikian?
pertama, Internet sebagai sumber yang paling populer dalam memberikan informasi, memiliki masalah dalam hal menjaring informasi. Kehebatan internet dalam mencari informasi tidak perlu kita pertanyakan lagi, dengan satu kata kunci saja, semua informasi yang berhubungan langsung dan tidak langsung dengan kata kunci tersebut akan muncul. Hal ini menyebabkan pengguna internet yang perasaan kepo-nya terlalu besar akan menghadapi kesulitan untuk menahan berbagai godaan yang muncul ketika mencari informasi yang dibutuhkan. Berikut saya berikan studi kasus untuk menjelaskan argumen saya:
Si Budi adalah anak dari Ibu Ani. Dia berusia 19 tahun dengan rasa ingin tahu yang besar. Mereka baru beberapa minggu tinggal di Jogjakarta. Ibu Ani adalah seorang pesolek, baginya penampilan adalah nomor satu. Ini membuat dia menjadi sangat pemilih, terutama masalah salon kecantikan. Suatu hari Ibu Ani ingin mencari salon karena salon tempat biasa dia merawat tubuh tidak ikut pindah ke Jogjakarta. Ibu Ani kemudian menyuruh Budi, anaknya, untuk mencari info salon di Jogjakarta melalui media Internet. Budi kemudian bersegera menyalakan komputer dan jaringan internet untuk menjalankan perintah orang tua. Seperti pengguna internet kebanyakan, Budi membuka situs search engine terpercaya, google namanya, dan menuliskan kata kunci "info salon Jogjakarta". Alangkah terkejut dan bercampur bahagia (sedikit) Budi ketika yang ia dapati tidak hanya informasi seputar salon di Jogjakarta, tetapi juga "salon" di Jogjakarta. Karena Budi adalah tipikal laki-laki muda dengan semangat membara demi membantu orang tua, maka dia secara bertahap mencoba satu per satu "salon" di Jogjakarta dan memberikan informasi yang pasti tentang salon di Jogjakarta kepada ibunya.
Berdasar studi kasus tersebut, sangatlah jelas bahwa internet memiliki standar godaan yang lebih besar jika dibandingkan dengan koran atau majalah. Saya yakin, jika Budi mencari salon lewat majalah kecantikan pasti ceritanya akan sangat berbeda. Perlu di jelaskan disini bahwa cerita di atas hanyalah fiktif belaka, jika ada kesamaan nama, tokoh, dan peristiwa harap di maklumi. Kerancuan akhir cerita sengaja saya lakukan untuk menghindari berkembangnya cerita tersebut menjadi cerita dewasa karena saya sendiri adalah orang dengan keiingintahuan yang luar biasa. Satu lagi, kata kunci "info salon Jogjakarta" pernah di coba oleh seorang teman saya, dan hasil pencariannya seperti yang digambarkan dalam cerita.
bersambung....
Kekosongan yang tiada tara ini bukan keluhan, bukan juga rasa syukur, tapi lebih kepada ekspresi dari perasaan yang tidak bisa di gambarkan #weits. Manusia--menurut saya--tidak bisa hidup tanpa informasi, karena manusia selalu ingin tahu, istilah kerennya kepo. Meskipun beberapa anak gaul ibu kota sering membedakan istilah kepo dan perasaan ingin tahu manusia, tapi saya rasa kata kepo bisa digunakan dalam masalah ini. Jadi keterbatasan akses yang saya miliki sedikit-banyak menghambat saya untuk mencari informasi terkini, entah tentang transfer pemain bola, berita mancanegara, atau teman yang sedang menjalin cinta secara tidak terduga. Di sisi lain, keterbatasan membuat saya menjadi lebih tenang. Otak dan pikiran saya tidak di ributkan dengan masalah statusisasi hubungan si goyang itik, hebohnya goyang bukak sitik, atau update terbaru film titik-titik-titik (sensor).
Tetapi untunglah informasi tidak hanya di sebarkan lewat media sosial atau internet, ada koran, majalah, buku, dan semua benda-benda dari kertas yang sudah dianggap tidak praktis lagi. Keberadaan benda-benda itu sangat membantu untuk memuaskan perasaan ingin tahu saya. Selain itu, pemanfaatan koran dan majalah dalam upaya memenuhi kebutuhan informasi juga sangat membantu saya dalam menyaring informasi.
Mengapa bisa demikian?
pertama, Internet sebagai sumber yang paling populer dalam memberikan informasi, memiliki masalah dalam hal menjaring informasi. Kehebatan internet dalam mencari informasi tidak perlu kita pertanyakan lagi, dengan satu kata kunci saja, semua informasi yang berhubungan langsung dan tidak langsung dengan kata kunci tersebut akan muncul. Hal ini menyebabkan pengguna internet yang perasaan kepo-nya terlalu besar akan menghadapi kesulitan untuk menahan berbagai godaan yang muncul ketika mencari informasi yang dibutuhkan. Berikut saya berikan studi kasus untuk menjelaskan argumen saya:
Si Budi adalah anak dari Ibu Ani. Dia berusia 19 tahun dengan rasa ingin tahu yang besar. Mereka baru beberapa minggu tinggal di Jogjakarta. Ibu Ani adalah seorang pesolek, baginya penampilan adalah nomor satu. Ini membuat dia menjadi sangat pemilih, terutama masalah salon kecantikan. Suatu hari Ibu Ani ingin mencari salon karena salon tempat biasa dia merawat tubuh tidak ikut pindah ke Jogjakarta. Ibu Ani kemudian menyuruh Budi, anaknya, untuk mencari info salon di Jogjakarta melalui media Internet. Budi kemudian bersegera menyalakan komputer dan jaringan internet untuk menjalankan perintah orang tua. Seperti pengguna internet kebanyakan, Budi membuka situs search engine terpercaya, google namanya, dan menuliskan kata kunci "info salon Jogjakarta". Alangkah terkejut dan bercampur bahagia (sedikit) Budi ketika yang ia dapati tidak hanya informasi seputar salon di Jogjakarta, tetapi juga "salon" di Jogjakarta. Karena Budi adalah tipikal laki-laki muda dengan semangat membara demi membantu orang tua, maka dia secara bertahap mencoba satu per satu "salon" di Jogjakarta dan memberikan informasi yang pasti tentang salon di Jogjakarta kepada ibunya.
Berdasar studi kasus tersebut, sangatlah jelas bahwa internet memiliki standar godaan yang lebih besar jika dibandingkan dengan koran atau majalah. Saya yakin, jika Budi mencari salon lewat majalah kecantikan pasti ceritanya akan sangat berbeda. Perlu di jelaskan disini bahwa cerita di atas hanyalah fiktif belaka, jika ada kesamaan nama, tokoh, dan peristiwa harap di maklumi. Kerancuan akhir cerita sengaja saya lakukan untuk menghindari berkembangnya cerita tersebut menjadi cerita dewasa karena saya sendiri adalah orang dengan keiingintahuan yang luar biasa. Satu lagi, kata kunci "info salon Jogjakarta" pernah di coba oleh seorang teman saya, dan hasil pencariannya seperti yang digambarkan dalam cerita.
bersambung....
Senin, 26 Agustus 2013
berbahagialah kita semua yang percaya pada rezeki.
Banyak yang bilang hidup itu seperti roda, kadang di atas kadang di bawah. Terkadang hidup itu semanis gadis cantik kembang desa atau mahasiswi baru idola remaja, tetapi kadang kebalikannya. Tidak ada seorang manusia pun yang tahu kapan seorang manusia berada di atas kapan di bawah, tidak juga peramal, dukun, dan paranormal. Kepercayaan pada sesuatu yang pasti adalah sebuah wujud ke-absurd-an manusia. Ada sebuah ungkapan (yang saya lupa siapa) yang mengatakan bahwa satu-satunya yang pasti adalah ketidakpastian. Kita tidak akan pernah tahu apa yang akan terjadi besok atau nanti malam, mungkin pagi bahagia, siang bahagia, malam bersedih, atau sebaliknya.
Tetapi manusia sulit menerima kenyataan ini. Kehilangan, kesedihan, atau kesakitan yang di dera sangat sulit untuk di terima sebagai sebuah siklus perputaran roda seperti sebelumnya. Kemudian manusia berusaha mencari penjelasan dari musibahnya tadi, entah dengan cara ilmiah atau tidak ilmiah, tapi yang jelas segala usaha akan dilakukan demi mendapat penjelasan yang dianggap pasti. Tapi, seringkali manusia itu tidak pernah puas. Penjelasan saja tidak cukup, harus ada manusia lain yang salah dan disalahkan. Akibatnya, saling tuduh terjadi, rasa curiga menguat, isu-isu negatif di gemborkan, dan akhirnya terpecah semuanya.
Maka, berbahagialah kita semua yang percaya pada sesuatu yang dinamakan rezeki. Sesuatu yang tidak terikat pada apapun, sesuatu yang manusia tidak bisa kendalikan apalagi menyalahkan sang pemberi dan pencabut rezeki.
Minggu, 18 Agustus 2013
Mesir
Di beranda facebook saya ramai orang-orang yang membagikan tautan tentang pembunuhan masal orang-orang tak bersalah di Mesir, tentang matinya para mujahid dengan jumlah besar dalam waktu singkat. Di twitter penanda #saveEgypt atau #stopMassacreInEgypt menjadi bahan pembicaraan dunia. Jumlah korban simpang siur, kelompok IM (Ikhwanul Muslimin) mengatakan telah terjadi pembantaian besar-besaran oleh militer, sedangkan kelompok militer mengatakan bahwa mereka hanya mempertahankan diri dari para pemrotes yang bringas. Sebenarnya saya tidak terlalu peduli dengan hal ini, hanya saja permasalahan ini semakin aneh ketika dua kelompok yang sedang bertengkar dan orang-orang yang memperhatikan terlalu sibuk mempermasalahkan jumlah korban yang ada. Saya paham, bahwa jumlah korban akan memberikan pembenaran yang cukup baik bagi kedua belah pihak. Jumlah korban yang melimpah ruah akan membuat posisi IM sebagai pendukung Mursi semakin kuat dan mendapat dukungan dari berbagai kalangan, sedangkan jumlah korban yang tidak terlalu banyak akan membuat posisi militer tidak terlalu mendapat tekanan dari khayalak, dan mungkin bisa membantu militer untuk membenarkan tindakannya.
Sudah saya katakan sebelumnya bahwa saya tidak terlalu mengerti dan tidak terlalu peduli dengan masalah Mesir ini. Saya seperti orang kebanyakan yaitu, golongan orang yang merasa tergangu aktivitas dunia mayanya karena berbagai tautan yang membanjiri beranda facebook dan twitter. Saya hanya menjadi prihatin ketika terjadi saling hujat antara kelompok satu dan kelompok lain karena perbedaan jumlah yang di sampaikan, atau karena yang disoroti bukan yang mereka inginkan, atau mungkin tidak ikut aksi yang di jalankan. Dari sini terlihat jelas bahwa telah terjadi kebencian antara satu dan yang lainnya. Mungkin contohnya seperti ini:
*Saya tidak tahu apakah hal-hal seperti ini ada di beranda kalian, tapi jika kalian menemukannya sebaiknya kalian mulai khawatir.
Menjadi pembenci adalah masalah setiap orang, tetapi ketika kebencian tersebut ditularkan kepada orang lain dan membuat yang lainnya turut menjadi pembenci, itu yang menjadi masalah. Saya pernah mendengar sebuah ungkapan, "kasihanilah yang masih hidup, jangan kasihanilah yang sudah mati", nampaknya ungkapan ini harus dipahami oleh orang-orang yang terlalu sering menghujat di dunia maya soal jumlah orang yang tewas di Mesir. Ibaratnya, kita sedang membeli jeruk 2 kilogram, tapi kita yang kita dapat adalah apel 1 kilogram, lalu yang kita permasalahkan adalah jumlah kilogram yang kita dapat, bukan buah yang kita inginkan. Sangat aneh bukan?
Semoga nanti bisa menjadi lebih baik.
Sudah saya katakan sebelumnya bahwa saya tidak terlalu mengerti dan tidak terlalu peduli dengan masalah Mesir ini. Saya seperti orang kebanyakan yaitu, golongan orang yang merasa tergangu aktivitas dunia mayanya karena berbagai tautan yang membanjiri beranda facebook dan twitter. Saya hanya menjadi prihatin ketika terjadi saling hujat antara kelompok satu dan kelompok lain karena perbedaan jumlah yang di sampaikan, atau karena yang disoroti bukan yang mereka inginkan, atau mungkin tidak ikut aksi yang di jalankan. Dari sini terlihat jelas bahwa telah terjadi kebencian antara satu dan yang lainnya. Mungkin contohnya seperti ini:
ya,, seperti ini,
*Saya tidak tahu apakah hal-hal seperti ini ada di beranda kalian, tapi jika kalian menemukannya sebaiknya kalian mulai khawatir.
Menjadi pembenci adalah masalah setiap orang, tetapi ketika kebencian tersebut ditularkan kepada orang lain dan membuat yang lainnya turut menjadi pembenci, itu yang menjadi masalah. Saya pernah mendengar sebuah ungkapan, "kasihanilah yang masih hidup, jangan kasihanilah yang sudah mati", nampaknya ungkapan ini harus dipahami oleh orang-orang yang terlalu sering menghujat di dunia maya soal jumlah orang yang tewas di Mesir. Ibaratnya, kita sedang membeli jeruk 2 kilogram, tapi kita yang kita dapat adalah apel 1 kilogram, lalu yang kita permasalahkan adalah jumlah kilogram yang kita dapat, bukan buah yang kita inginkan. Sangat aneh bukan?
Semoga nanti bisa menjadi lebih baik.
Kamis, 15 Agustus 2013
Manusia Spons
Melihat kampanye calon gubernur Jawa Timur saya jadi prihatin. Prihatin bukan pada calon gubernurnya, tapi orang-orang yang berada di samping kanan-kirinya. Yang berteriak lebih kencang dari calon gubernurnya, bekerja lebih keras dari calon gubernurnya, yang lebih berkeringat di banding calon gubernurnya. Orang yang selalu ada untuk membuat orang lain yang tidak mengerti bertepuk tangan, berdoa dan mengucap amin. Tipikal orang seperti ini bekerja dengan mekanisme spons. Tahu spons? bukan Bob si spons yang berwarna kuning dan bercelana kotak. Tetapi spons yang biasanya digunakan ibu-ibu modern untuk mencuci piring (ibu-ibu tradisional biasanya menggunakan sabut kelapa).
ini contoh spons ibu modern
*Spons memiliki daya serap yang kuat, dikarenakan rongga besar sehingga memungkinkan terjadinya peristiwa kapilaritas. haha
Orang-orang yang seperti spons itu tidak hanya ada di sekitar para calon gubernur, diluar sana banyak orang model spons. Dalam bahasa yang lebih kasar, orang macam spons ini biasa di sebut penjilat. Meskipun ada sedikit perbedaan diantara keduanya. Manusia spons ini biasanya memiliki loyalitas yang tinggi pada atasannya, mereka akan berusaha melakukan segala sesuatu untuk membuat atasannya puas dengan pekerjaannya, tapi dengan mengharap balasan yang setimpal tentunya. Mereka akan menyerap semua yang di miliki oleh atasannya, perintah, pendapat, dan ajakan. Berharap bisa seperti tuannya atau paling tidak mendekati tuannya.
Tapi, spons yang di beri air adalah spons yang akan dipakai, dan spons yang dipakai berarti akan diperas dan kehilangan air. Hingga pada akhirnya, spons itu sudah diperas sampai habis, kotor, dan ditinggalkan. Mungkin mereka salah memilih tuan, atau memang takdir menjadi sebuah spons memang seperti itu, saya tidak tahu.
.
Langganan:
Postingan (Atom)