Selasa, 12 Mei 2015

Cerita Sore

Suatu sore di pekarangan rumah, sepasang suami istri sedang menghabiskan waktu mereka dengan secangkir kopi dan matahari yang mulai keemasan. Sang suami baru saja menyapu daun-daun kering pohon rambutan, sang istri meletakkan bahunya disandaran kursi, dan burung gereja terbang melintas rendah.

"Kenapa kau diam saja?" tanya sang istri yang penasaran sedari tadi heran mengamati suaminya yang tidak seperti biasanya. Bukan kemeja lusuh dan celana pendek putih yang biasa dia kenakan untuk menyapu halaman, bukan juga rokok yang selalu terselip di telinganya. Melainkan sikap sang suami yang sedari tadi diam saja seperti daun kering yang disapunya.

"Apa menyapu halaman harus berbicara" jawab suami singkat sambil menyalakan korek untuk membakar sampah.

Biasanya, seusai menyapu daun kering, sang suami langsung membakar daun-daun kering itu, lalu merokok dan minum kopi. Kemudian berbincang riang diselingin candaan cabul dan cubitan mesra dari sang istri. Hari ini tidak demikian. Sang suami tetap menyapu, tetap membakar sampah, tapi tidak menyapa istrinya. Ingat mata seorang istri sulit untuk dibohongi. Apalagi sang istri sudah 20 tahun melakukan ritual itu bersama suaminya, kecuali hujan dan ada acara keluarga, tentu saja bisa menangkap tanda-tanda yang berbeda dengan suaminya sore itu. 

"Tak biasanya kau diam seperti ini saat menyapu halaman, sudah seminggu bahkan kau jarang berbicara denganku" sang istri menjawab pelan, meskipun dalam hatinya ingin sekali memasukkan gagang sapu kedalam mulut suaminya yang menanggapi pertanyaannya dengan ketus.

Sebagai soerang istri sudah sepantasnya dia menahan diri. Kau tau, selain berdandan, mengasuh anak, dan memasak, menahan diri adalah kemampuan yang harus dimiliki untuk menjadi seorang istri. Bisa kau bayangkan jika istri-istri di dunia tidak memiliki kompetensi dasar ini, pastilah lokalisasi dan warung kopi akan menjadi tempat yang lebih ramai daripada sekarang.

"Satu-satunya hal yang bisa dilakukan oleh orang yang semakin tua adalah menjadi bijaksana, dan diamku adalah  kebijaksanaanku,"

"Kau kutip dari mana kata-kata itu. Kau lebih terlihat seperti orang semakin bersedih, tua memang, tapi tidak terlihat bijaksana,"

"Seperti itukah menurutmu?"

"Sepertinya begitu? ceritakanlah padaku, agar aku berguna sebagai seorang istri, bukankah kau selalu menginginkan istri yang selalu bisa mendengarkan keluhan-keluhanmu?"

"Aku memang ingin istri yang bisa mendengarkanku, tapi bukan istri yang selalu ingin tahu urusanku."

sang istri tertegun sejenak. "baiklah aku akan benar-benar diam untukmu."

Sang suami tahu ritual hari itu sudah berakhir. Sang istri pun tahu dia telah gagal menahan diri. Sampah telah habis dibakar, kopi juga telah habis diminum, tapi tidak dengan kebekuan mereka di sore selanjutnya dan selanjutnya lagi. Akhir cerita, sang istri mati beberapa bulan kemudian, katanya karena tak kuat menahan sepi dan kangker yang dideritanya beberapa tahun yang lalu. Komplikasi dua penyakit itu memang menyakitkan. Sedangkan sang suami menikah lagi beberapa minggu setelah kematian istrinya, dan dia terus melakukan ritual sore dengan istri barunya, tetapi lebih ceria dan cabul daripada sebelumnya.

Tamat