Rabu, 22 Mei 2013

Beda Perancis, Beda Indonesia


Ada berita heboh di Perancis, bukan berita tentang pesepakbola ganteng yang pensiun atau lukisan bersejarah yang dicuri. Berita yang dikoran kemarin pagi ada di kolom Internasional, di bagian kilas kawat sedunia. Berjejer dengan berita orang mabuk yang mencuri motor dengan telanjang, tapi porsinya tidak lebih besar dari berita pertemuan Perdana Menteri Cina dan orang berjenggot putih yang merupakan PM India, berita ini seperti berita pelengkap kolom Internasional karena mungkin jatahnya sudah di ambil oleh iklan universitas swasta di Jakarta dan iklan sebuah expo barang elektronik dan perkakas.

Ini berita tentang bahasa nasional Perancis yang mendapat saingan dari bahasa asing (terutama bahasa Inggris). Permasalahan berawal ketika sebuah proposal dari Menteri Perguran Tinggi Perancis masuk ke parlemen. Permintaan dalam proposal tersebut sebenarnya sepele, yaitu untuk memasukkan lebih banyak mata kuliah dalam bahasa Inggris dan bahasa asing lain (mungkin juga Indonesia) di universitas-universitas demi menarik jumlah mahasiswa asing di universitas Prancis. Kemudian parlemen Perancis beranggapan berbeda, mereka merasa permintaan ini merupakan ancaman bagi orang Prancis, bahkan beberapa serikat buruh pendidikan akan melakukan mogok kerja terkait hal itu, terkesan berlebihan bukan? Namun bila dicermati permasalahan ini beralasan, pasalnya Perancis mendorong penggunaan bahasa ini di dalam dan luar negeri, tetapi penggunaan bahasa inggris  telah membuat banyak orang lebih menggunakan ekspresi why not?, bukan pourquoi pas? dalam percakapan bahasa Perancis sehingga menimbulkan rasa takut akan kehilangan identitas ke-Perancis-annya. 

Mungkin orang-orang Perancis terlalu berlebihan karena di Indonesia sendiri, istilah bahasa Inggris seperti which is, somehow, sometimes, dan mungkin why not? sudah menjadi kata-kata yang wajar digunakan dalam pembicaraan sehari-hari, terutama dikalangan mahasiswa. Bahkan, orang yang tidak mengerti penggunaan istilah ini didalam bahasa Indonesia di anggap sebagai orang yang kuno, tidak intelek, atau mungkin kampungan.  Memang aneh, saat kerancuan penggunaan bahasa menjadi salah satu indikator kepandaian seseorang. Apalagi kerancuan tersebut tidak hanya digunakan oleh mahasiswa saja, melainkan dosen atau profesor yang notabene adalah golongan yang dalam sistem kasta pendidikan tinggi menempati posisi puncak. Tetapi, memang pemakaian (bukan pemahaman) bahasa Inggris di kalangan mahasiswa Indonesia semakin “penting”, sehingga mau, tidak mau, suka, tidak suka, banyak orang yang harus bisa menggunakannya karena jika tidak, dia akan menjadi orang yang dianggap aneh. 

Bahasa adalah identitas, jadi mungkin mahasiswa yang katanya intelek, tidak kampungan, serta modern sedang berusaha menunjukkan identitasnya yang mungkin telah kalah oleh perkembangan zaman.

Untuk Kami

Sabtu, 18 Mei 2013

Tentang Absensi

Kemarin di halaman depan sebuah koran pagi, ada sebuah berita tentang orang-orang yang selalu kita benci, orang-orang yang berkantor di gedung bekas peninggalan NEFO zaman Pak Karno. Seperti biasa, mereka menghiasi berita koran pagi dengan sikap dan perilaku mereka yang tentu kita sudah tau bagaimana. Tapi ini bukan masalah korupsi, bukan masalah century, bukan masalah daging sapi, bukan juga tentang renovasi kamar mandi, tapi ini tentang absensi.Ya, tentang absensi.

Jadi begini, dalam berita itu dijelaskan bahwa rata-rata absensi mereka kurang dari 60%, jika dalam perkuliahan absensi yang seperti itu akan membuat kita tidak bisa mengikuti ujian akhir, atau dengan kata lain kita akan mendapat nilai D, bahkan E. Absensi disini dihitung berdasarkan tingkat kehadiran mereka pada rapat yang membahas tentang undang-undang atau tugas mereka yang lain. Absensi yang demikian kecil itu tentu saja menggambarkan kinerja mereka yang buruk dalam menjalankan tugasnya. Dengan gaji dan tunjangan serta fasilitas mewah seharusnya mereka bisa mengemban tugasnya dengan sangat baik. Memang benar, absensi bukanlah satu-satunya indikator pengukur kinerja mereka, tetapi tanpa kehadiran tentu saja kinerja mereka tidak bisa diukur. Nah, untuk menindaklanjuti hal tersebut, badan kehormatan mereka, rencananya akan mengeluarkan daftar nama-nama mereka yang jarang atau tidak pernah hadir dalam rapat, dengan begitu pemilih akan tau siapa wakilnya yang sering membolos dan tidak layak bertahan di sana.

Tapi yang menimbulkan pertanyaan, apa mereka tidak meminta tolong pada kolega, teman, atau ajudan mereka untuk mengakali absensi? Kan mereka itu orang yang berkuasa dan kaya raya, tentu bukan hal yang sulit untuk menyuruh seseorang untuk mengisi absen sewaktu dia tidak bisa hadir dalam rapat. Bukankah dengan menyuruh orang maka nama baik mereka akan lebih baik dan tentu saja akan berpengaruh pada suara pemilih di 2014 mendatang?

Kita sering mendengar betapa tidak punya malunya mereka, meski sering dihujat berkali-kali, dijerat kasus korupsi setiap hari, tapi kenapa dalam masalah sepele seperti absensi mereka tidak berani. Apa mungkin masih ada sisa nurani?

Mungkin berita koran pagi itu berita buruk, tapi hal ini mengisyaratkan satu hal, dalam diri mereka (orang dalam berita pagi) masih tersisa rasa malu, rasa malu untuk tidak mengakali absensi. Ini penting, karena jika dalam hal kecil mereka masih punya nurani mungkin dalam hal-hal yang lebih besar mereka masih bisa sadar dan kembali.

Tapi yang paling aneh adalah di luar sana, benar-benar di luar sana, banyak orang biasanya mahasiswa, sering mencaci mereka tidak punya malu, mencaci mereka karena telah kehilangan nurani, mencaci mereka karena korupsi dan mencuri, tapi tidak sadar bahwa terkadang mereka sendiri dengan kesadaran diri dan tanpa rasa malu meminta teman untuk mengakali absensi demi rasa malas yang mereka alami. Bukankah hal-hal yang besar selalu berawal dari hal-hal yang kecil?

Jangan terlalu cepat berasumsi, jangan terlalu cepat membenci, pahami dan sadari.

Rabu, 15 Mei 2013

Pernah


Seringkali saya mendengar kisah-kisah perlawanan orang-orang tertindas, sering juga melihat perlawanan orang-orang tak tertindas melawan orang yang ditindas, dan yang paling sering adalah perlawanan golongan orang-orang tua yang terlalu takut kehilangan pekerja.

Berulangkali saya mendengar kisah-kisah kepahlawanan, cerita tentang orang-orang yang mati ditembak dengan senapan, cerita tentang orang-orang yang di pukuli karena melawan, dan yang paling menarik tentang golongan orang-orang yang dikucilkan karena ingin melakukan kebaikan.

Pernah saya datang dalam sebuah pertemuan untuk menjadi seorang yang akan didengarkan, pernah juga menjadi orang yang akan mendengarkan, tapi baru-baru ini saya datang sebagai orang yang dianggap menyimpang.

Pernah di suatu malam saya melihat orang yang tidur dalam kedinginan, lebih sering lagi melihat orang yang berpacaran di dekat jembatan, tapi kemarin saya melihat orang-orang yang duduk berhadapan demi melawan kebenaran (menurut saya)

Setidaknya menurut saya begitu


Ada kisah bahagia yang di banggakan, ada kisah sedih yang ditinggalkan. Semuanya berjalan dalam satu tempat yang sama, dalam satu wadah yang selalu dianggap baik oleh semua orang. Setidaknya menurut saya begitu.

Entah mereka yang baik atau orang lain yang buta, tapi yang jelas ini berjalan tidak sebagaimana mestinya, setidaknya menurut saya begitu. 


Saya bukan orang yang terlalu kritis, bukan orang yang suka memprotes, bukan orang yang suka melawan, tapi saya tahu jika itu tidak benar, setidaknya menurut saya begitu. 

Terlalu banyak semangat-semangat yang harus ditahan sampai mati, terlalu banyak tujuan yang tidak sesuai, hingga akhirnya semangat itu mati, tujuan itu gagal tercapai, setidaknya menurut saya begitu.

Kemudian muncul pertanyaan, apa saya ingin mengubah itu? Tentu saja. Apa saya mampu mengubahnya? selama saya berusaha, pasti bisa. 

Apa mereka ingin berubah? Apa perubahan akan lebih baik? Apa mereka akan patuh?
Saya tidak bisa menjawab pertanyaan yang seperti itu.