Ada berita heboh di Perancis, bukan berita tentang
pesepakbola ganteng yang pensiun atau lukisan bersejarah yang dicuri. Berita
yang dikoran kemarin pagi ada di kolom Internasional, di bagian kilas kawat
sedunia. Berjejer dengan berita orang mabuk yang mencuri motor dengan
telanjang, tapi porsinya tidak lebih besar dari berita pertemuan Perdana
Menteri Cina dan orang berjenggot putih yang merupakan PM India, berita ini
seperti berita pelengkap kolom Internasional karena mungkin jatahnya sudah di
ambil oleh iklan universitas swasta di Jakarta dan iklan sebuah expo barang
elektronik dan perkakas.
Ini berita tentang bahasa nasional Perancis yang mendapat
saingan dari bahasa asing (terutama bahasa Inggris). Permasalahan berawal
ketika sebuah proposal dari Menteri Perguran Tinggi Perancis masuk ke parlemen.
Permintaan dalam proposal tersebut sebenarnya sepele, yaitu untuk memasukkan
lebih banyak mata kuliah dalam bahasa Inggris dan bahasa asing lain (mungkin
juga Indonesia) di universitas-universitas demi menarik jumlah mahasiswa asing
di universitas Prancis. Kemudian parlemen Perancis beranggapan berbeda, mereka
merasa permintaan ini merupakan ancaman bagi orang Prancis, bahkan beberapa
serikat buruh pendidikan akan melakukan mogok kerja terkait hal itu, terkesan
berlebihan bukan? Namun bila dicermati permasalahan ini beralasan, pasalnya
Perancis mendorong penggunaan bahasa ini di dalam dan luar negeri, tetapi
penggunaan bahasa inggris telah membuat
banyak orang lebih menggunakan ekspresi why
not?, bukan pourquoi pas? dalam
percakapan bahasa Perancis sehingga menimbulkan rasa takut akan kehilangan
identitas ke-Perancis-annya.
Mungkin orang-orang Perancis terlalu berlebihan
karena di Indonesia sendiri, istilah bahasa Inggris seperti which is, somehow, sometimes, dan
mungkin why not? sudah menjadi
kata-kata yang wajar digunakan dalam pembicaraan sehari-hari, terutama
dikalangan mahasiswa. Bahkan, orang yang tidak mengerti penggunaan istilah ini
didalam bahasa Indonesia di anggap sebagai orang yang kuno, tidak intelek, atau mungkin kampungan. Memang aneh, saat kerancuan penggunaan bahasa
menjadi salah satu indikator kepandaian seseorang. Apalagi kerancuan tersebut
tidak hanya digunakan oleh mahasiswa saja, melainkan dosen atau profesor yang
notabene adalah golongan yang dalam sistem kasta pendidikan tinggi menempati
posisi puncak. Tetapi, memang pemakaian (bukan pemahaman) bahasa Inggris di
kalangan mahasiswa Indonesia semakin “penting”, sehingga mau, tidak mau, suka, tidak suka, banyak
orang yang harus bisa menggunakannya karena jika tidak, dia akan menjadi orang
yang dianggap aneh.
Bahasa adalah identitas, jadi mungkin mahasiswa
yang katanya intelek, tidak kampungan, serta
modern sedang berusaha menunjukkan identitasnya yang mungkin telah kalah oleh perkembangan zaman.
Untuk Kami