Selasa, 20 Februari 2018

Alkudus dan Poskolonialisme: Sejenis Review Asal-Asalan

Membaca Alkudus karya Asef Saeful Anwar tentu saja serupa membaca sebuah kitab suci karena memang begitulah karyanya dibentuk. Alkudus sekilas mengingatkan saya pada Kain dari Jose Saramago. Perbedaannya, Jose Saramago menuliskan ulang kisah dalam Kitab Perjanjian Lama menjadi sebuah kisah humor yang penuh ironi, sedangkan Asef Saeful Anwar mengambil langkah lebih jauh dengan mencipta tuhan, nabi, kisah, perjalanan, bahkan tafsir dari sebuah agama yang dia sebut dengan agama Kaib dan Alkudus sebagai kitab sucinya. Oleh karena itu, tinjauan terhadap Alkudus mungkin dapat dilakukan dalam dua bentuk. Bentuk pertama, menempatkannya sebagai sebuah karya sastra dan melakukan kritik terhadap nilai kesusastraannya. Sedangkan bentuk kedua, menempatkannya sebagai sebuah kitab suci, dan melakukan tafsir-tafsir “liar” serta membuat kitab agama Kaib ini menjadi tidak relevan, sayangnya, saya tidak menguasai keduanya, tapi mari kita coba.

Satu konsep yang muncul ketika membaca Alkudus adalah konsep mimikri dalam teori sastra poskolonial. Secara umum konsep ini, serupa dengan istilah mimikri dalam ilmu alam, adalah peniruan, penyesuaian diri. Namun dalam kerangka poskolonialisme, istilah mimikri disematkan kepada tindakan dari kelompok terjajah yang berusaha meniru, menyerupai, bangsa penjajahnya. Tindakan peniruan oleh kelompok terjajah ini, bagi Homi K. Bhaba, memiliki nuansa perlawanan yang tersembunyi, tetapi secara tak sadar mengisyaratkan kekuasaan yang begitu masif dari penjajah (Bhaba, 1994). Masih dalam kerangka penjelasan Homi K. Bhaba, mimikri muncul sebagai sebuah strategi dalam konteks pertarungan kekuasaan kolonial yang paling sulit untuk dipahami sekaligus efektif. Sulit dipahami dalam hal ini karena mimikri mengisyaratkan pengakuan dan permintaan akan sebuah identitas, sekaligus pengakuan dan kompromis terhadap sebuah dominasi. Dalam kerangka karya sastra di Indonesia, mimikri dapat ditemukan dalam novel Max Havellar karya Multatuli atau Burung-Burung Manyar karya Mangunwijaya, dimana tokoh utamanya mengalami perdebatan identitas dan upaya untuk “mengikuti” etika dan sikap dari penjajahnya. Sedangkan dalam konteks karya sastra dunia, mimikri dapat kita temukan dalam The Mimic Man dari V.S. Naipaul (lihat Ashcroft, 1989, hal. 87) atau Things Fall Apart dari Chinua Achebe (lihat Olsson, 2010).

Namun, dalam membahas Alkudus dengan kerangka ini adalah letak peniruan dan nuansa yang berusaha disampaikan oleh si penulis. Pertama soal peniruan. Sudah jelas bahwa yang ditiru adalah kitab suci yang merupakan sebuah karya sastra terbitan Tuhan. Ini didukung juga sepanjang pembacaan terhadap novel (atau kitab) ini, si penulis banyak mengambil ayat-ayat dalam kitab agama lain dan bahkan The Allegory of the Cave dari Plato juga menjadi bagian dalam kitab ini. Di beberapa bagian ada aroma Islam yang kental, tetapi juga dalam beberapa bagian muncul nuansa ajaran katolik yang juga kuat. Dengan pembacaan semacam ini, tentu saja terlalu mereduksi jika kita menyebut Alkudus adalah sebuah bentuk peniruan dari Al-Quran atau Babel atau ajaran Budha saja, sehingga mungkin lebih cocok jika peniruan yang dilakukan oleh si Penulis adalah sebuah peniruan terhadap konsep Ketuhanan manusia yang lepas dari kerangka agama apapun. Kedua, mengenai nuansa. Dalam kerangka kajian poskolonial, seperti telah dijelaskan sebelumnya, bahwa mimikri adalah sebuah bentuk pengakuan sekaligus perlawanan terhadap dominasi. Tentu tak salah jika diasumsikan bahwa bentuk penulisan serupa kitab suci adalah sebuah pengkuan sekaligus perlawanan dari si penulis terhadap dominasi Tuhan dalam setiap lini kehidupannya.

Dari sini penafsiran liar dimulai. Dengan dua penjelasan diatas, maka dapat kita disimpulkan bersama bahwa novel ini mengisyaratkan sebuah pengakuan atas kekuasaan tuhan, sekaligus dominasinya dalam lini kehidupan manusia. Ini diisyaratkan dalam ayat 67 (hal.36) dari buku ini yang secara jelas menyebutkan bahwa “Segalanya telah aku tetapkan dan tak ada yang (bisa) lepas dari Ketetapan-Ku”. Namun, ketika si penulis menulis sebuah kitab yang berisi firman Tuhan beserta kisah-kisah kenabian dan perjalanan sebuah agama, bukankah dia sedang menjelma Tuhan yang memiliki ketetapan akan segala hal? Bukankah dengan begitu si penulis sedang menyerupai Tuhan? Tetapi bukankah secara bersamaan mengakui bahwa karyanya adalah sebuah bentuk pengakuan atas Tuhan di dunia si penulis, bukan di dunia karyanya? Maka dari sinilah kerumitan dan kompleksitas Alkudus dimulai.

Selamat Membaca.


Referensi:

Ashcroft, Bill, The Empire writes back: theory and practice in postcolonial literature, 1989, London: Routledge, 2002.

Bhaba, Homi K. The Location of Culture, 1994, New York: Routledge, 2006.





Alkudus
Asef Saeful Anwar
Penerbit Basabasi 2017