Selasa, 10 Maret 2015

Bagaimana kita mengakhiri hubungan

Suatu malam kau mengajakku berjalan-jalan mengelilingi kota Yogyakarta. Aku memakai kaos hitam bergambar lidah menjulur dan jaket jeans, sedang kau memakai kemeja flanel lusuh yang tak dikancing, dengan kaos hitam yang menonjolkan dadamu. Rambutmu diikat kuda kebelakang dengan poni depan yang dibiarkan tergerai liar tertiup angin. Ah, kau cantik sekali. Dan kita sama-sama memakai celana jeans, aku hitam dan kau biru dengan sobekan nakal di atas lutut.

Malam itu kau merajuk ingin menikmati angin kota jogja yang sedari sore diguyur hujan. "Udara setelah hujan itu menyegarkan" sahutmu riang dengan senyum yang tak mampu kugambarkan dengan tepat seperti apa indahnya. Menghadapi senyum dan rajukan manja darimu aku tak bisa berbuat apa kecuali tersenyum dan berkata, "ayo bersenang-senang". Kaupun tertawa memelukku, akupun lemas, ada yang ingin mengeras.

Aku nyalakan motor matic tahun 2005 berwarna merah milikku. Kita berjalan, melaju membelah malam. Mereguk setiap kesegaran yang disisakan hujan dan debu basah. Kau begitu bahagia dibelakangku. Memelukku erat sesekali bercerita tentang kuliah, teman, gosip murahan, dan ciuman kita. Ah kau memang suka sekali bercerita. Dari tempatku, kita berjalan lurus menuju tugu, lurus terus menuju kompleks hotel baru dikanan kiri jalan hingga stasiun tugu. Berbelok ke kiri, jalanan sedikit turun, lalu berhenti sebentar di lampu merah. Berjalan lagi melewati bawah rel kereta, sedikit berkelok lalu kita menyusuri malioboro yang sudah sepi.

"Tenang sekali, andai seperti ini setiap hari," katamu sambil tertawa riang.
"Ya, sangat tenang, tapi jika setiap hari begini kasihan ibuk-ibuk penjual batik dan bapak tukang parkir," aku berkata sambil terus melihat jalan.
Kau diam, dan tertawa lagi, "dasar manusia serius," katamu sambil tertawa.
Kita terus melaju membelah jalan, entah kenapa kau ingin aku berjalan memutar, kembali menuju jembatan di jalanan dekat tugu. Katamu tugu lebih indah dari jembatan itu. Aku kembali memutar, kuperhatikan bensin, masih cukup untuk sekali putaran. Kau terus bercerita, aku terus melihat bensin, takut mati ditengah jalan. Bisa-bisa dibegal orang.

Kita berbelok lalu berhenti di jembatan. Aku matikan motor, membuka helm. Kau menggandengku menuju bibir jembatan. Kita diam menarik nafas, menghela lelah. Kau mengamati sekitar. Hanya ada dua pasangan yang sedang berpacaran. Menjadi tiga dengan kita, tapi kita tak berpacaran. Kau tak suka bermesaraan di jalan. Apalagi jembatan. Lebih suka di kamar sempitku atau di mobil hitammu yang berkaca gelap.

"lihatlah indah bukan" katamu menunjuk Tugu yang putih seperti pualam dengan ujung emas
"ya seperti biasa, lama-lama menjadi membosankan," kataku ringan
"ya membosankan," katamu

Kau lalu berpaling pada jembatan dan rumah-rumah dibawahnya. Menarikku lagi dan kita bersama melihat rumah, lampu-lampu, atap-atap hitam, bendera partai sobek, dan sungai.

"ini lebih indah bukan?" tanyamu
"ya, lebih indah." kataku
"priceless," katamu sambil memainkan tangamu diudara. Lalu kau tertawa lepas. Akupun tertawa karena kau terlihat bodoh.
"kau tau apa yang ironis sayang?" aku berkata sambil melihat ponimu yang tersibak angin malam.
"apa?" tanyamu penasaran
"kita bersama-sama menikmati kemiskinan orang-orang itu, kita menikmati rumah kumuh mereka yang berada di bawah jembatan, kita menikmati lampu 5wat mereka yang redup, kita menikmati keberadaan mereka dibawah sana. Dan kita bilang itu indah. Ironis bukan?" Aku melihat lagi kearah rumah, lampu-lampu, atap-atap hitam, bendera partai sobek, dan sungai. Kau tak menjawab. Kita berdua diam selam lebih dari 15 menit. Lalu kau mengajakku pulang.

Dijalan kita tetap diam. Kau tak lagi riang. Tak ada candaanmu tentang angin malam, hujan, atau jembatan. Kau terus diam. Hingga gerimis turun.

"jangan terlalu dipikirkan," sahutku
"tidak, aku biasa saja," katamu
"kenapa kau diam?" 
"Kau terlalu serius sayang," katamu ttertawa sambil mencubiti perutku. Aku kaget dan berusaha mengelak dari cubitanmu. Secara bersamaan ada lobang besar didepan. Aku tak bisa menghindar. Motor menjadi oleng dan jalanan licin mendukungnya terus oleng tak terkendali. Kita akan jatuh.

Dan,, kita sesaat terdiam. Kau menahan nafas, aku terhenyak. Semuanya menjadi beku, angin, aku, kau, jalanan. Motor berhasil kukendalikan. Kita berdua tertawa lepas. Dan kisah ini tak menjadi kisah suram yang berlatar bahagia. Beberapa bulan kemudian kita mengakhiri hubungan karena kita merasa sudah tak cocok lagi.